tag:blogger.com,1999:blog-11009098118430253272024-03-13T07:28:17.080-07:00Gerhat Sudiono Nababan, SHBlog ini adalah blog pribadi yang saya tujukan sebagai wahana untuk saling mempererat tali persaudaraan dan saling bertukar pemikiran khususnya mengenai permasalahan hukum.GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-1100909811843025327.post-18019907745482974862010-08-22T21:31:00.001-07:002010-08-22T21:31:11.317-07:00Pembatasan Upaya Hukum Kasasi terhadap Objek Sengketa berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang Jangkauan Berlakunya di Daerah tertentu.<br />
<br />
Oleh: Gerhat Sudiono, S.H.<br />
<br />
Dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung pada tanggal 15 Januari 2004 di Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 telah membawa perubahan dalam proses penyelesaian sengketa TUN di Pengadilan TUN, karena dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf c menyatakan bahwa terhadap perkara/ sengketa TUN yang objek gugatannya berupa “keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan” dibatasi/ dikecualikan pengajuan kasasinya. <br />
<br />
Hal ini mempunyai konsekuensi hukum bahwa penyelesaian sengketa TUN di Lembaga Yudikatif/ Peradilan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :<br />
1. Untuk keputusan TUN yang diterbitkan oleh Pejabat/ Badan TUN Pusat yang sifatnya nasional, penyelesaiannya melalui PTUN di Tingkat Pertama, PT TUN di Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Tingkat Mahkamah Agung (khusus sengketa yang ada upaya administrasinya melalui PT TUN di Tingkat Pertama dan selanjutnya langsung upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali di Tingkat Mahkamah Agung).<br />
2. Untuk keputusan TUN yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat TUN Daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, penyelesaiannya menggunakan system dua tingkat, yaitu PTUN di Tingkat Pertama dan PT TUN di Tingkat Terakhir.<br />
<br />
Dengan demikian proses hukum dalam pemeriksaan sengketa TUN di Pengadilan di satu sisi ada keputusan TUN objek sengketa yang oleh pencari keadilan dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung jika berkeberatan terhadap Putusan PT TUN di Tingkat Banding dan di sisi lain ada keputusan TUN objek sengketa yang oleh pencari keadilan tidak dapat diajukan lagi upaya hukum Kasasi jika berkeberatan terhadap Putusan di Tingkat Banding (PT TUN) ke Mahkamah Agung dikarenakan Putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) di Tingkat Banding.<br />
<br />
Dalam hal ini 2 (dua) hal yang perlu menjadi perhatian dalam rangka pelaksanaan ketentuan pembatasan upaya hukum kasasi perkara TUN adalah :<br />
1. Parameter/ ukuran yang digunakan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN) sebagai Pejabat Peradilan yang berwenang untuk menentukan apakah keputusan TUN objek sengketa jika dimohonkan upaya hukum kasasinya adalah keputusan pejabat daerah yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah yang bersangkutan sehingga tidak dapat diterima pengajuannya harus didasarkan atas pertimbangan :<br />
a. Keputusan Pejabat Daerah tersebut diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara atributif memberikan kewenangan langsung kepada pejabat daerah (tolak ukurnya dilihat dari peraturan dasar yang dijadikan dasar kewenangan penerbitan keputusan TUN objek sengketa).<br />
b. Produk keputusannya hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan (dalam hal ini keputusan pejabat daerah tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi).<br />
c. Tidak termasuk sebagai keputusan pejabat daerah yang dibatasi upaya hukum kasasinya apabila keputusan pejabat daerah tersebut sumber kewenangannya berasal dari pelimpahan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara atributif kewenangan tersebut merupakan kewenangan pejabat pusat.<br />
<br />
2. Bentuk surat Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN) tentang penolakan pengajuan kasasi dituangkan dalam format surat keterangan yang berisi “penetapan” bahwa terhadap surat keputusan TUN objek sengketa adalah termasuk keputusan TUN yang diterbitkan pejabat daerah yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasinya berdasarkan ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 (bersifat judicieledaad) yang terhadap penetapan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum dan dikirimkan ke Mahkamah Agung untuk diketahui bahwa terhadap perkara tersebut putusannya telah berkekuatan hukum tetap di Tingkat Banding (PT TUN) sehingga upaya hukum biasanya telah selesai dan terhadap perkara tersebut hanya dapat dimohonkan pemeriksaannya di tingkat Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi melalui upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. <br />
<br />
Lebih lanjut dampak pembatasan upaya hukum kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara ini memiliki sisi positip, antara lain :<br />
1. Kepastian hukum dalam perselisihan sengketa TUN dapat diperoleh lebih cepat karena diputus hanya dalam 2 (dua) tingkat saja yakni di PTUN sebagai pengadilan Tingkat Pertama dan di PT TUN di Tingakat Terakhir.<br />
2. Implementasi dari Asas Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.<br />
3. Penumpukan perkara di Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat dihindarai/ dikurangi.<br />
<br />
Sedangkan dampak sisi negatip dari aturan Pasal 45 A ayat 2 huruf c UU Nomor 5 Tahun 2004 ini antara lain menurut penulis adalah kesempatan untuk mendapatkan rasa keadilan berdasarkan hukum dalam putusan pengadilan yang diharapkan oleh pencari keadilan akan berkurang seandainya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap di Tingkat Banding ternyata salah atau keliru dalam menerapkan hukum yang ada atau bahkan mengesampingkan hukum itu sendiri, dikarenakan kesempatan untuk memperbaiki putusan tersebut di Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi melalui putusan Hakim Agung yang notabene secara pengetahuan dan pengalaman menangani perkaranya sudah lebih memadai daripada Hakim di tingkat pertama dan tingkat banding tidak dapat dilakukan.GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100909811843025327.post-16203892498632393872010-08-22T21:26:00.001-07:002010-08-22T21:26:04.981-07:00Asas-asas Umum Pemerintahan Yang BaikProf.Dr.BagirManan, <br />
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung <br />
Good Governance hindarkan rakyat dari tindakan negara yang merugikan<br />
Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas. <br />
Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai "Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik". Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.<br />
Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.<br />
Tetapi, cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk UU dapat membuat UU yang sewenang-wenang. Berbagai UU yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain. <br />
Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum—seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan—sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.<br />
Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.<br />
Berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan pemerintahan yang baik seperti: responsible, accountable, controlable, transparancy, limitable dan lain sebagainya.<br />
Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya.<br />
Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hukum. <br />
Karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum.<br />
Pelayanan yang dipanjang-panjangkan atau bertele-tele (birokratisasi), bukan hanya memperlambat, tetapi menjadi suatu fungsi "komersial", karena melahirkan sistem "uang pelicin", "hadiah" yang tidak lain dari suatu bentuk suap. Hal serupa terjadi pada penegakkan hukum . Keadilan yang ditentukan oleh kemampuan tawar-menawar menurut hukum tawar-menawar.<br />
Berdasarkan keadaan diatas, secara praktis usaha mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari pemerintahan yang bersih, memberikan kemudahan dan berbagai jaminan bagi rakyat banyak. Dan mengingat sentuhan langsung kepada masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari upaya pembaharuan sistem adminstrasi negara (birokrasi) dan tata cara penegakkan hukum.<br />
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau pun tidak, tidak semata-mata terjadi karena ketentuan hukum yang tidak jelas, manajemen pemerintahan yang kurang baik atau berbagai faktor tata laksana pemerintahan lainnya.<br />
Tatanan politik yang berlaku dapat mempengaruhi bahkan menentukan baik, kurang, atau tidak baik penyelenggaraan pemerintahan. Politisasi birokrasi untuk mendukung regim politik yang berkuasa, menjadi salah satu contoh terjadinya segala bentuk sistem perkoncoan menuju pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih lanjut, politisasi birokrasi menyebabkan administrasi tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat, tetapi pada kekuasaan. Birokrasi menjadi tertutup dan tidak dapat terkontrol secara wajar. <br />
Faktor lain yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah kepastian dalam penegakkan hukum. Di masa Orde Baru ada semacam praktik yang ganjil, apabila seorang pejabat diketahui melakukan tindakan pidana korupsi, maka secara internal ia ditawari untuk mengembalikan hasil-hasil korupsi, namun pejabat korup ini tidak dihukum. Pengembalian hasil korupsi tersebut dianggap meniadakan sifat pidana dengan alasan negara atau pemerintah tidak mengalami kerugian. Perlindungan atas berbagai penyelewengan tersebut dilakukan antara lain demi "menjaga kewibawaan" satuan atau pejabat yang bersangkutan.<br />
Faktor manajemen pemerintahan juga ikut menentukan, termasuk sistem sentralisasi yang mengabaikan penyelenggaraan pemerintah dalam satu sistem otonomi yang akan memungkinkan daerah dapat ambil bagian secara wajar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sentralisasi yang berjalan terutama 40 tahun terakhir selain melahirkan birokratisasi mahal, juga pada saat ini melahirkan berbagai tuntutan dari berbagai daerah untuk melepaskan diri dari ikatan RI.<br />
Tidak Selalu Memiliki Kualifikasi<br />
Tidak kalah penting adalah sumber daya manusia. Mulai dari rekuitmen (untuk sebagian dilakukan dengan dasar koncoisme atau suap) menyebabkan sumber daya manusa tidak selalu memiliki kualifikasi sebagai pengemban penyelenggara pemerintahan yang baik. Selain dasar-dasar hubungan primordial, ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem promosi tidak jarang menjadi hambatan memperoleh tenaga yang masih berpotensi melaksanakan tugasnya dengan baik. <br />
Promosi untuk menjadi Hakim Agung yang berasal dari hakim karir, misalnya, harus menempuh masa kerja dan jabatan yang panjang. Seorang mungkin bisa menjadi Hakim Agung hanya untuk masa yang pendek sebelum masa pensiun. Akibatnya yang bersangkutan tidak berkesempatan untuk melaksanakan tugas dalam jangka waktu yang wajar. <br />
Berbagai faktor diatas merupakan sebagian kenyataan yang menyebabkan sulitnya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berpihak kepada kepentingan rakyat. <br />
Sebenarnya baik secara ilmiah maupun berbagai bentuk kebijakan telah banyak disusun konsep untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Tetapi tidak terlaksana sebagai mestinya, bila karena faktor-faktor politik maupun kurangnya kemauan dari pengelola pemerintahan.<br />
Langkah-langkah<br />
Demokrasi dan juga supremasi hukum seyogyanya menjadi pangkal tolak mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Berdasarkan prinsip demokrasi dan supremasi hukum dapat diharapkan unsur-unsur seperti keterbukaan, dapat diawasi, akuntabilitas dan lain sebagainya. Usaha untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dilakukan seperti cara di bawah ini.<br />
Pertama, melanjutkan pembaharuan politik. Peraturan perundang-undangan di bidang politik yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan baru, dapat diperbaharui. Ketentuan-ketentuan mengenai sistem pemilu, susunan MPR, DPR, dan DPRD, KPU yang independen dan lain-lain perlu ditata kembali.<br />
Kedua melanjutkan pembaharuan UUD. Pembahruan ini tidak hanya mengenai jabatan kepresidenan, tetapi perbaikan keseluruhan termasuk menyusun kembali badan perwakilan menuju sistem dua kamar. Demikian pula mengenai lembaga negara lain, disamping ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi dan lain sebagainya.<br />
Ketiga, melanjutkan pembaharuan kekuasaan kehakiman seperti sistem pemilihan hakim Agung, pertanggungjawaban hakim yang melanggar hukum, wewenang menguji tindakan pemerintahan dan peraturan perundangan dibawah UUD, masa jabatan haik dan lain sebagainya.<br />
Keempat, pembahruan administrasi negara. Melanjutkan pembebasan administrasi negara dari segala pengaruh politik. Penyusunan kembali organisasi administrasi negara. Menyiapkan daerah untuk menjalankan tatanan otonomi baru yang meletakkan titik berat penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam kaitan dan pemikiran bentuk negara federal, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk menyelidiki masalah federal dan juga otonomi. Usaha merampingkan administrasi negara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perlu ditingkatkan tanpa mengurangi asas kehati-hatian dan tidak sewenang-wenang. Memperbesar gaji pegawai dapat lebih memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya.<br />
Kelima, ketegasan dalam menjalankan prinsip dan ketentuan hukum untuk menjamin kepastian, ketertiban dan keadilan hukum.<br />
Keenam, Melakukan evaluasi terhadap segala produk hukum masa lalu, dalam rangka membangun satu tertib hukum yang utuh dan harmonis satu sama lain. Tugas ini seyogyanya dijalankan Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan mengikutsertakan para ahli dan juga praktisi dari kalangan kampus.<br />
Ketujuh, menata kembali pemerintahan desa agar mampu menjalankan pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan rakyat banyak. Penataan ini dapat mencakup kemungkinan penggabungan desa-desa agar lebih managable dan mandiri. <br />
<br />
http://www.transparansi.or.id/agenda/agenda2/seri_dialog/dialog7.html<br />
Notulensi Diskusi MTI Masalah Keppres Yang Menyimpang Periode 1993-1998<br />
Bidang : Penyelenggaraan Negara Secara Umum <br />
Informasi Awal<br />
Diskusi diadakan hari Kamis, 1 Oktober 1998 di Financial Club, Lantai 27 Graha Niaga, yang berasal dari Instansi-instansi a.l; Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, para anggota DPR, ICEL, dan ICW. Dari MTI selain dari tim Kajian Bidang Hukum hadir pula beberapa anggota Badan Pengurus lainnya.<br />
Diskusi dimulai pada jam 20.00 WIB yang dibuka oleh Bapak Erry Riyana Hardjapamekas dan dimulai dengan prolog oleh Prof. Koesnadi, dan kemudian masuk kepada materi. Berbeda dengan diskusi-diskusi sebelumnya, untuk mempersingkat waktu, kali ini materi dibacakan dulu secara keseluruhan baru kemudian dikomentari oleh para peserta.<br />
Salah seorang anggota DPR menyatakan bahwa, penelitian ini harusnya lebih dalam lagi, apabila direkomendasikan untuk dicabut, harus dipikirkan bersama penggantinya, jangan sampai penyelenggaraan negara menjadi kacau. Juga kalau bisa terhadap yang jelas melanggar hukum positif kita, sebaiknya ditindaklanjuti, misalnya masalah korupsi.<br />
Peserta dari Depdagri menyatakan bahwa UU Otonomi Daerah sudah 5 kali dibahas di Depdagri. Sedangkan Tabungan Perumahan Rakyat (Taper) bagi sebagian pegawai negeri justru menguntungkan karena menjadi punya kesempatan untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Untuk komentar ini Prof. Koesnadi menyatakan bahwa sebaiknya Taper diatur dengan UU karena sifatnya yang berupa pungutan.<br />
Peserta yang berasal dari Sekretariat Jenderal DPR-RI menyarankan agar ada penelitian khusus mengenai eksistensi dari Kota Mandiri sehubungan dengan adanya Jonggol sebagai Kota Mandiri. Materinya menyangkut: bagaimana kedudukan Kota Mandiri itu dalam administrasi negara, kepala daerahnya, otonominya dan lain-lain, karena Kota Mandiri belum dikenal konsepnya dalam administrasi negara. Kemudian sehubungan dengan Keppres mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan umum, memang "kepentingan umum" di sini sangat interpretatif. Sampai sekarang belum pernah ada ketegasan mengenai definisi dari "kepentingan umum" ini. Ia mengusulkan agar ada penegasan makna "kepentingan Umum" agar di masa yang akan datang hak-hak masyarakat tidak bisa diinjak-injak lagi dengan dalih "demi kepentingan umum".<br />
Setjen DPR sendiri juga tengah meneliti mengenai konsep legislative review yang dikemukakan oleh Tim Kerja Bidang Hukum MTI. Mengomentari Keppres mengenai haji dan umroh, ia menceritakan juga bahwa pada Kabinet yang lalu (dengan Quraish Shihab sebagai Menag), telah disepakati akan dikeluarkannya RUU Usul Inisiatif tentang Haji dan Perjalanan Umroh.Sebagai langkah konkrit upaya DPR untuk menjalankan fungsinya, Setjen DPR telah memulai upaya pengawasan peraturan perundang-undangan. Suatu UU yang telah dikeluarkan terus dipantau apakah PP yang diamanatkan untuk dikeluarkan di bawah UU tersebut telah dikeluarkan sebagaimana mestinya. Pada intinya, Setjen DPR telah memiliki visi yang kurang lebih sama dengan MTI. Namun disadari bahwa ternyata suprastruktur kita belum memadai untuk pemerintahan yang bersi mandiri, dan berwibawa. Untuk itu, Prof. Koesnadi secara khusus mengharapkan adanya kerja sama yang lebih erat dengan Setjen DPR-RI. <br />
Peserta lainnya yang juga berasal dari anggota DPR mengomentari mengenai masalah Jonggol. Komisi III DPR telah menyoroti masalah ini, bahkan sampai kepada permasalahan lingkungannya, terutama masalah banjir. Kemudian Komisi III juga telah mempertanyakan mengenai masalah hibah kapal. Ketika ditanyakan bagaimana pelaksanaannya kepada Menteri Transmigrasi, dijawab bahwa sementara Pengadilan belum memutuskan, kapal tersebut dipinjamkan dulu (padahal di Keppres tertulis "hibah"). Ia juga mengomentari mengenai masalah hak atas tanah yang mempengaruhi banyak aspek, yaitu hukum, ekonomi, dan ekologi. Untuk itu ia mengharapkan ada kerja sama yang baik dengan MTI untuk mengkaji aspek-aspek tersebut.<br />
Peserta dari Departemen Agama mengomentari Keppres yang mengatur mengenai haji dan umroh. Di GBHN tertera bahwa penyelenggaraan urusan haji harus diaturdengan UU. Untuk itu sedang dibuat RUU-nya dan sudah ada Inpres untuk membuat RUU tersebut. Ia juga menyarankan agar tarif Umroh menggunakan Kepmen saja. Untuk penyelenggaraan haji tahun 1999 telah keluar Keppres 122/1998 dengan tarif baru sebesar + Rp. 27 juta. Kemudian Keppres mengenai angkutan oleh Garuda sudah dicabut, sekarang pengangkutnya adalah Garuda bersama-sama dengan Saudia. Sedangkan yang berhak mengatur mengenai penetapan tarif, dilihat saja nanti RUU-nya, Depag justru meminta saran dari MTI. Mengenai Badan Pengelola Urusan Haji, Badan ini memang baru tapi harapannya adalah keberadaan badan ini dari dan untuk ummat dan tidak mengandung masalah.<br />
Peserta dari sekretariat Indonesian Corruption Watch menyatakan bahwa pihaknya juga telah meneliti mengenai Keppres.<br />
Peserta lainnya dari anggota DPR menyatakan kembali mengenai PP. Banyak UU yang sudah dibahas tetapi PP-nya tidak keluar. Misalnya UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Tidak adanya PP ini menyebabkan UU tersebut tidak operasional. Untuk itu ia meminta MTI untuk turut mendorong keluarnya PP dari UU yang ada. Contoh lainnya yaitu UU 7/1996 tentang Pangan, yang sebenarnya juga mengatur mengenai food security dan food safety, tetapi PP-nya belum ada yang keluar.<br />
Peserta dari Departemen Kehakiman menyatakan keanehan sifat Keppres. Untuk itu, seharusnya ada pagarnya dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seharusnya dijadikan acuan.<br />
Peserta dari ICEL menyarankan agar MTI mencermati perkembangan terakhir. Karena ternyata akan dibuat Keppres mengenai Tata Ruang Jabotabek yang memasukkan Area Reklamasi sebagai salah satu komponennya. Keppres ini sedang dibuat 2 hari ini. Prof. Koesnadi menyatakan bahwa hal ini salah, mengenai tata ruang tidak usah dengan Keppres, salah satu contoh yang salah adalah Batam.<br />
Andy Eldes, salah seorang pendiri MTI mengingatkan bahwa bagaimana pun MTI harus memikirkan perubahan sistemnya, agar presiden di masa yang akan datang tidak melakukan kesalahan yang sama.<br />
Salah seorang anggota DPR kembali memberi komentar. Kali ini menanyakan kapan tenggat waktu MTI untuk melakukan penelitian bagi Keppres tahun-tahun sebelumnya. Ia juga menceritakan mengenai masalah "stiker jalan Sudirman". Menurutnya waktu itu DPR sudah menyatakan ketidaksetujuannya karena peraturan perundang-undangannya tidak memungkinkan. Akan tetapi ternyata bisa dikeluarkan dengan penyelehgunaan wewenang. Sebagai informasi, menurutnya Keppres ini adalah yang paling singkat pembuatannya.<br />
Selanjutnya karena waktu sudah habis, diskusi ini ditutup oleh Prof. Koesnadi dan dilanjutkan dengan kata penutup dari Bapak T. Mulya Lubis dari ICW dan Bapak Erry Riyana Hardjapamekas dari MTI.<br />
<br />
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=10&mnorutisi=11<br />
<br />
PELAKSANAAN FUNGSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA <br />
DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK <br />
<br />
oleh : <br />
Iskatrinah SH, Mhum., Dosen Unwiku Purwokerto <br />
<br />
<br />
Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.<br />
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.<br />
Identifikasi Masalah<br />
Bagaimana pelaksanaan fungsi-fungsi HAN dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ?<br />
Upaya apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan pemerintahan yang baik ?<br />
Kerangka Pemikiran<br />
Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.<br />
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintahan ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat.<br />
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. <br />
Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.<br />
Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.<br />
Eksistensi Pemerintah dalam konsepsi Welfare State Indonesia.<br />
Negara Hukum Indonesia<br />
• Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut : <br />
• Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. <br />
• Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan. <br />
• Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). <br />
• Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. <br />
• Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif. <br />
• Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. <br />
• Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. <br />
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.<br />
Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).<br />
Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.<br />
Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia, dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.<br />
Adanya kesamaan antar manusia dalam suatu negara akan memungkinkan lahirnya partisipasi aktif dari setiap orang. Partisipasi ini penting dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, agar isi dari konstitusi sebagai hukum dasar ini merupakan kristalisasi dari keinginan-keinginan dan kehendak dari sebagian besar masyarakat, kalau tidak dapat dikatakan semua masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu negara ini merupakan esensi dari demokrasi.<br />
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.<br />
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.<br />
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :<br />
• Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; <br />
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; <br />
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; <br />
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban. <br />
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :<br />
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; <br />
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; <br />
• Kebebasan beragama dalam arti positip; <br />
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; <br />
• Asas kekeluargaan dan kerukunan. <br />
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.<br />
Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum<br />
Pengertian Tindakan Pemerintahan<br />
Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :<br />
• Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; <br />
• Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan; <br />
• Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi; <br />
• Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. <br />
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.<br />
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.<br />
Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.<br />
Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :<br />
• Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik; <br />
• Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara; <br />
• Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum; <br />
• Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri; <br />
• Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba; <br />
• Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. <br />
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan<br />
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :<br />
Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;<br />
Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.<br />
Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.<br />
Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara<br />
Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.<br />
Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :<br />
• Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. <br />
• Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa. <br />
• Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. <br />
• Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. <br />
• Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan. <br />
Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.<br />
Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara<br />
Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan.28 Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan.29 Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :<br />
Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;<br />
Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;<br />
Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.30<br />
Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,31 dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.32 Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.<br />
Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara<br />
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.<br />
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :<br />
Syarat-syarat material :<br />
• Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang; <br />
• Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan; <br />
• Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan; <br />
• Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. <br />
Syarat-syarat formal :<br />
• Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; <br />
• Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan; <br />
• Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi; <br />
• Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan. <br />
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.<br />
Fungsi Jaminan Hukum Administrasi Negara<br />
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.34 Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.35 Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.<br />
Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.<br />
Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan perintahan yang baik.<br />
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik<br />
Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.<br />
Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.<br />
Upaya Meningkatkan Pemerintahan yang Baik<br />
Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.37 Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.<br />
Kesimpulan<br />
Pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.<br />
Upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan antara lain dengan pengawasan lembaga peradilan, pengawasan masyarakat, dan pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.<br />
Saran<br />
Agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik, maka sebaiknya pengawasan lembaga peradilan, masyarakat, dan lembaga ombusdmen dilakukan dengan efektif. Di samping itu, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behorlijk bestuur).<br />
<br />
http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=46<br />
Strategi Menuju Clean and Good Government<br />
<br />
oleh: M. Fajrul Falaakh<br />
(Desember 2003)<br />
<br />
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik (good governance) menjadi agenda utama di Indonesia dewasa ini. Menarik bahwa penentuan agenda ini didahului oleh krisis finansial (1997) yang meluas menjadi krisis ekonomi. Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang luas yang menuntut perbaikan ekonomi negara, penciptaan good corporate governance di sektor swasta, dan perbaikan pemerintahan negara. <br />
Seperti dialami bersama, bangsa Indonesia memulai semua itu dengan mendesak suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999), pembentukan lembaga perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam mengawasi pemerintah (eksekutif), pengurangan dan bahkan penghilangan intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di luar bidang mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan lain-lain.<br />
<br />
Pendek kata, berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat dalam keseluruhan dinamika governance menerima sorotan dan harus diperbaiki, pihak-pihak itu bukan hanya negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) melainkan juga pihak swasta dan masyarakat sipil (civil society). Yang terakhir dituntut meningkatkan perannya dalam rangka mengembangkan demokratisasi dan akuntabilitas pemerintahan negara.<br />
Namun governance reform yang kini terpusat pada pihak eksekutif dan administrasi negara, tidak dapat dihindari. Berbagai faktor telah menyebabkannya. Konstitusi Indonesia termasuk a heavy-executive constitution, yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Peran pemerintah selama 30-an tahun terakhir juga begitu dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dominasi ini telah didukung secara sistematis melalui peran birokrasi yang tidak netral-politik karena menganut monoloyalitas kepada Golkar, sistem kepartaian dominan (dominant party system), dan militer.<br />
<br />
Dengan pemerintahan negara yang elitis, sedangkan masyarakat sipil masih lemah atau bahkan dibungkam, pemerintah memainkan peran yang strategis di bidang politik, sosial dan ekonomi. Eksekutifpun semakin independen, karena anggaran negara banyak didukung oleh hutang luar negeri. Maka dapat dimengerti bahwa independensi pemerintah tersebut juga merambah ke dunia usaha dan menghasilkan pengusaha pemburu rente (rent-seekers).<br />
Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggambarkan kebobrokan sistem pemerintahan negara yang didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama tersebut di muka, dan dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu terdapat berbagai strategi pencapaiannya. <br />
<br />
Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.<br />
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.<br />
<br />
Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui bersama, birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi yang menggurita. Mereka bukan hanya berada di lingkaran eksekutif seperti Sekretariat Negara, Departemen, Lembaga Non-departemen, dan BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan rakyat dan peradilan. Upaya awal sudah dilakukan, seperti transfer administrasi peradilan umum dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung, atau penentuan anggaran sendiri oleh lembaga perwakilan rakyat.<br />
Namun banyak hal masih harus dilakukan dalam reformasi administrasi negara ini. Secara umum reformasi itu mencakup peran atau tugas sistem addministrasi negara antara lain guna melayani masyarakat secara aspiratif daripada melayani kepentingan sendiri melalui kolusi dengan dunia usaha dan nepotisme. Peran lain adalah memberi ruang pada masyarakat dan sektor swasta untuk berkembang dari bawah (bottom-up) dan di daerah (decentralization). Bappenas, Dirjen Sospol Depdagri, Dephankam, misalnya telah mengalaminya.<br />
Aspek lainnya adalah penataan kelembagaan, termasuk melakukan rasionalisasi lembaga dan personil. Hal ini memerlukan peninjauan ulang terhadap keberadaan dan fungsi berbagai macam lembaga sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik dewasa ini. Termasuk yang harus mengalami reformasi adalah proses dan tata-cara administrasi negara yang tidak berbelit-belit, transparan, memuaskan dan tidak korup.<br />
<br />
Keempat, kultur dan etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika pejabat harus ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita (perhatikan layanan KTP, pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan perangkapan jabatan, berkolusi, penerimaan uang pelicin dan lain-lain.<br />
<br />
Kelima, masalah sumber daya manusia yang memerlukan rekruitmen berdasarkan kualitas dan profesionalisme, peningkatan pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit system, dan meningkatnya kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat esselon, juga pegawai negeri sipil-militer dengan pegawai BUMN).<br />
<br />
Keenam, pengawasan administrasi negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Pengawasan preventif melekat pada sistem administrasi negara yang bersangkutan, seperti kejelasan job description, pengawasan oleh atasan, dan secara umum berupa penyelenggaraan pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip yang baik, yang harus diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia belum memiliki ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui peradilan adminastrasi yang terbatas pada keputusan konkret (beschikking). <br />
<br />
Memang banyak hal yang harus diperbaiki. Peran legislatif dalam mengutamakan kepentingan publik harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan partai atau golongan. Pemahaman anggota (yang baru) mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis yang mewarnai kultur peradilan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Sebaliknya, ketidakpatuhan birokrasi dalam menjalankan putusan hakim juga menuntut pemberdayaan putusan peradilan administrasi.<br />
Berbagai strategi lain mungkin saja dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju clean and the good governance, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.<br />
<br />
<br />
<br />
Artikel<br />
Penyelenggaraan Otonomi Pertanahan; Suatu Pemikiran <br />
[ Rizal Anshari ]<br />
1. Latar Belakang<br />
Pelaksanaan otonomi daerah sudah memasuki implementasi tahun kedua, walau banyak kelemahan dan kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, namun kita tidak bisa mundur dan kembali ke belakang. Otonomi daerah mesti kita sikapi dengan bijaksana dan hati-hati agar implementasi dari undang-undang dimaksud dapat berjalan dengan semestinya. Dari sekian banyak persoalan yang harus dibenahi oleh pemerintah pusat dalam pelaksanan otonomi daerah adalah persoalan yang menyangkut masalah kewenangan pertanahan. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah/Kabupaten antara lain bidang pertanahan.<br />
<br />
Tugas bidang pertanahan menurut undang undang tersebut dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing, sedangkan menurut PP. 25/2000, Propinsi sebagai derah otonomi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pertanahan, sehingga pelimpahan dibidang pertanahan di tingkat propinsi sebagai daerah administrasi sangat bergantung pada Pemerintahan Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan pusat kepada gubernur selaku kepala pemerintahan di tingkat propinsi, maka itu masih dalam kerangka dekonsentrasi.<br />
<br />
Sampai saat ini masih terdapat selisih pendapat mengenai pelaksanaan otonomi pertanahan. Hal ini terlihat dari adanya daerah yang membentuk dinas daerah yang melaksanakan tugas-tugas pertanahan dan ada juga yang masih menunggu petunjuk tennis dari pemerintah pusat, bahkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, telah melantik pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pertanahan dan beberapa kabupaten/kota lain. Perbedaan pendapat dan duplikasi organisasi pertanahan di daerah tentu saja menimbulkan in-efisiensi dan membingungkan masyarakat.<br />
<br />
Berdasarkan rapat dengan Tim Keppres tanggal 22 Desember 2000 bahwa ketua tim yang membawahi Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa BPN tetap melaksanakan tugas-tugas berdasarkan Keppres No. 195/2000, namun demikian dianjurkan untuk meninjau kembali Keppres tersebut untuk disesuaikan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999.<br />
<br />
Tulisan ini dimaksud untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan otonomi bidang pertanahan. <br />
<br />
2. Tujuan Pengelolaan Pertanahan dan Otonomi Pertanahan<br />
Pada dasarnya tujuan pengelolaan pertanahan dan otonomi pertanahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.<br />
<br />
Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut diatas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut Adminstrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.<br />
<br />
Ada beberapa indikator untuk melihat tingkat keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan antara lain : <br />
a. diketahuinya siapa yang memiliki/menguasai sesuatu bidang tanah jenis penggunaan tanahnya. <br />
b. bagaimana hubungan hukum antara bidang tanah dengan yang menguasai bidang tanah. <br />
c. berapa luas suatu bidang tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum. <br />
d. dimana letak tanah tersebut yang dapat dipetakan berdasarkan suatu sistem proyeksi peta yang dipilih, sehingga dapat dihindari tumpang tindih sertipikat. <br />
e. informasi yang disebutkan pada huruf a, b, c dan d diatas dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang memadai. <br />
f. penyimpanan dokumen yang tertib, teratur, dan terjamin keamanannya. <br />
g. terdapat prosedur tetap yang sederhana, cepat namun akurasinya terjamin. <br />
Salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan Administrasi pertanahan adalah dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah sistematik. Namun demikian hambatan yang dihadapi pemerintah sekarang dalam pelaksanaan kegiatan ini menyangkut pendanaan. Oleh pemerintah pusat, untuk mengatasi hambatan tersebut pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP Tahap I) melalui pinjaman dana yang berasal dari Bank Dunia dan dana pendamping APBN. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1994 dan berakhir tahun 2000.<br />
<br />
Melihat betapa urgensinya kegiatan pendaftaran tanah sistematik dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia, pemerintah maupun pihak Bank Dunia tengah mengevaluasi kegiatan PAP tahap I. Ada indikasi bahwa pelaksanaan PAP tahap I cukup berhasil walau ada beberapa hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaannya. Diharapkan pada tahap kedua pelaksanaan proyek administrasi pertanahan ini, makin dapat mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia.<br />
<br />
Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong "good governance" BPN sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparasi, sederhana, murah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik. Penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada daerah dalam rangka Otonomi Daerah dimaksudkan agar dapat meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan meringankan beban masyarakat dalam pengurusan pertanahan, yang menurut sebagian orang masih tetap dipusatkan di BPN Pusat.<br />
<br />
3. Pelaksanaan Pengelolaan Pertanahan<br />
Kebijakan pengelolaan pertanahan diatur dalam beberapa undang-undang antara lain; Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Penataan Ruang. UUPA merupakan hukum publik dan hukum perdata, sebagai hukum publik memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan politik pertanahan, dan sebagai hukum perdata antara lain mengatur kewenangan pemegang hak atas tanah dalam menggunakan hak keperdataannya antara lain seperti memanfaatkan tanah, menjual tanah, memberikan hak tanggungan.<br />
<br />
Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugasnya berdasarkan UUPA secara umum mengatur beberapa hal mengenai: <br />
a. kebijaksanaan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah (land tenure dan land rights). <br />
b. kebijaksanaan rencana penggunaan tanah (land use planning). <br />
c. kebijaksanaan pendaftaran tanah (land registration). <br />
Pengaturan ketiga jenis kebijaksanaan pertanahan yang merupakan kewenangan negara tersebut dijabarkan lagi dalam peraturan perundangan berupa Undang-undang sampai tingkat peraturan menteri. Dalam UUPA ditegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah, hak-hak atas tanah, dan pendaftaran tanah dipegang oleh Pemerintah Pusat dan pelaksanaannya sebagian besar dilaksanakan di propinsi dan di kota/kabupaten, bahkan kewenangan pendaftaran hak atas tanah untuk segala jenis hak maupun penggunaannya dilaksanakan di kota/kabupaten dalam rangka dekonsentrasi. Sedangkan rencana penataan ruang (termasuk penggunaan tanah daerah) menurut pasal 14 ayat (2) UUPA dan pasal 27 dan pasal 28 Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang kepada daerah diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi.<br />
<br />
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi, sehingga percepatan kegiatan tersebut Pemerintah mendapat pinjaman dari Bank Dunia.<br />
<br />
Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan: <br />
<br />
Pertama melalui pendekatan sistematik : Proyek uji coba pendekatan sistematik dilaksanakan tahun 1995 di Kota Depok, yang biayanya mendapat bantuan Bank Dunia. Biaya yang dipungut masyarakat untuk tanah hak lama antara Rp. 3.000 - Rp. 45.00, sedangkan untuk tanah-tanah yang berasal dari tanah negara berkisar antara lain Rp. 10.500 - Rp. 18.000. dengan diberlakukannya PMNA No. 4 tahun 1998 yang antara lain menghapuskan biaya administrasi dan PMNA/KBPN No. 7 tahun 1999 yang antara lain membebaskan biaya pendaftaran tanah, untuk tanah-tanah hak lama masyarakat hanya dipungut biaya blanko sertipikat. Sedangkan untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas hanya dipungut biaya blanko sertipikat dan untuk tanah-tanah yang nilainya diatas Rp. 30 juta dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB). Berdasarkan pengalaman dalam Proyek Administrasi Pertanahan, pendaftaran tanah sistematik sangat diharapkan oleh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.<br />
<br />
Kedua melalui pendekatan sporadik : sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan sporadik yang berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan pemerintah untuk menyelenggaraan pendekatan sistematik terbatas. Biaya yang dipungut dari masyarakat dalam pendekatan sporadik adalah untuk pengukuran dan biaya panitia A, sedangkan untuk pendaftaran hak atas tanah tidak dipungut biaya. Untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas tanah dipungut BPHTB (nilai tanah diatas Rp. 30 juta) dan uang pemasukan ke Kas Negara yang besarnya tergantung dari jenis hak atas tanah dan luas tanahnya dan untuk luas tanahnya tidak lebih dari 200 meter persegi tidak dikenakan uang pemasukan.<br />
<br />
Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya. Oleh karena itulah di sebagian besar negara Eropa, pelaksanaan pendaftaraan tanah diselenggarakan oleh siapapun. Begitu juga di Indonesia sampai tahun 1947 penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh pegawai balik nama yang berada di pengadilan dan dalam pertengahan tahun 1950 an kewenangan pendaftaran hak atas tanah menjadi tanggung jawab Jawatan Pendaftaran Tanah yang berada di lingkungan Kementerian Kehakiman.<br />
<br />
Realitas lain, dalam pelayanan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional menyangkut masalah pelayanan yang lintas batas dan berwawasan nasional. Pelayanan pertanahan yang lintas kabupaten/kota maupun propinsi, antara lain; Pembebanan tanggungan yang dapat di bebankan pada beberapa bidang tanah yang letaknya di beberapa propinsi dimana bisa saja pembuatan akte tanggungannya dibuat oleh PPAT dalam satu akta, pemasangan Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang melintasi batas propinsi, pembagian lembar peta dasar pendaftaran yang melintasi batas propinsi. Sehingga melihat realitas pelayanan seperti diatas, maka kewenangan yang berskala nasional pelaksanaannya akan lebih efesien kalau di selenggarakan secara nasional, oleh karena itu menurut PP No. 25 tahun 2000 tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.<br />
<br />
Kondisi saat ini kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan masyarakat sebagian besar dilaksanakan di kota/kabupaten dan propinsi, sedangkan yang dilaksanakan di pusat hanya sebagian kecil yaitu : <br />
a. Pemberiah hak pengelolaan atas tanah negara kepada pemerintah daerah, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD. <br />
b. Pemberian hak guna usaha atas negara yang luasnya lebih dari 200 Ha. <br />
c. Pemberiah hak milik non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi. <br />
d. Pemberian hak guna bangunan tanah non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 15 Ha. <br />
e. Pemberian hak pakai tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 15 Ha. <br />
f. Menetapkan pemberian hak atas tanah secara umum. <br />
g. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya. <br />
h. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan Kepala BPN yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya maupun untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. <br />
i. Penegasan obyek landreform. <br />
j. Pengukuran batas tanah yang luasnya lebish dari 1.000 Ha. <br />
k. Pengukuran kerangka dasar kadastral nasional orde 1 dan orde 2. <br />
l. Pembuatan peta dasar pendaftaran nasional. <br />
m. Penetapan lokasi pendaftaran tanah sistematik. <br />
n. Pemberian hak atas tanah berdasarkan UU No. 3 1960 (P3MB/Prk 5). <br />
4. Prakiraan Permasalahan Otonomi Pertanahan<br />
Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 diklasifikasikan sebagai hukum publik yang secara langsung tidak dapat diberlakukan dalam bidang pertanahan, karena bidang pertanahan tidak hanya menyangkut hukum publik tetapi juga menyangkug hukum perdata (UUPA yang merupakan pengganti Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa). Dengan demikian perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan UUPA dan peraturan pelaksanaan lainnya, sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak mengandung cacat hukum. Oleh karena itu kalau otonomi pertanahan dilaksanakan apakah produk hukumnya tidak mengandung cacat hukum.<br />
<br />
Penyelenggaraan pendaftaran tanah selain berskala nasional juga berfungsi sebagai lembaga peradilan yang berkaitan dengan penetapan status hukum bidang tanah, batas tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukum tersebut. Dengan demikian seharusnya dalam melakukan tugasnya harus benar-benar obyektif, independen dan bebas dari pengaruh siapapun. Kalau kewenangan ini diserahkan kepada daerah, dikhawatirkan kepentingan Pemerintah Daerah diutamakan dengan mengabaikan keadilan dan kebenaran menurut hukum.<br />
<br />
Pelayanan yang bersifat lintas propinsi seperti pembuatan akta hak tanggungan yang dibuat oleh seorang PPAT yang wilayah kerjanya meliputi satu kota/kabupaten akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berhak untuk memberikan izin kepada PPAT tersebut untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya, apabila pendaftaran dilaksanakan di wilayah otonomi yang lain.<br />
<br />
Permasalahan yang krusial sejak dilaksanakannya Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22 1999, terjadi perpindahan besar-besaran Sumberdaya Manusia terutama sarjana dalam skala besar baik yang berada ditingkat Kantor Wilayah BPN maupun Kantor Pertanahan di luar Pulau Jawa ke Pulau Jawa. Perpindahan tentu saja menimbulkan penurunan kualitas pekerjaan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai contoh; eksodus puluhan bahkan ratusan sarjana Geodesi ke Jawa menimbulkan ketidakmampuan daerah dalam pembuatan peta pendaftaran dalam sistem TM-3 derajat. Sebagai contoh, pada bulan Desember 2000 Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada beberapa Kantor Wilayah BPN di Kaltim, Kalsel dan beberapa propinsi lain, memberikan implikasi lain, memberikan implikasi daerah yang bersangkutan tidak mampu melakukan pekerjaan merapatkan titik kadastral Nasional Orde 2 dalam sistem TM-3 derajat. Bagaimanapun juga titik dasar teknis orde 2 dan orde 3 adalah titik awal kegiatan kadastral dalam sistem nasional.<br />
<br />
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, juga menimbulkan kecenderungan daerah untuk menambah pendapatan asli daerah. Bidang pertanahan merupakan salah satu potensi untuk menambah pendapatan daerah. Sebagai contoh pemerintah kota Samarinda saat ini telah mengeluarkan keputusan bahwa masyarakat dipungut biaya untuk mendaftarkan tanahnya, yang selama ini tidak dipungut biaya. Pemerintah kota Tarakan meminta kepada Kepala Kantor Pertanahan agar 80% dari uang pemasukan ke Kas Negara dalam rangka pemberian hak atas tanah negara disetorkan ke kas Kota Tarakan. Keadaan-keadaan demikian sangat potensial di contoh oleh kabupaten/kota lain, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesan otonomi pertanahan akan memberatkan masyarakat.<br />
<br />
Menurut pasal 19 UUPA penyelenggaraan pendaftaraan tanah adalah kewajiban Pemerintah, namun melihat kecenderungan daerah disatu sisi dan kondisi kondisi sebagian besar rakyat Indonesia berada pada level masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak mampu untuk membiayai persertipikatan tanahnya, jika tidak mampu digantikan oleh peranannya oleh Pemerintah Daerah, penyelenggaraan pendaftaran tanah sistematik dan pendaftaran tanah massal lain disinyalir akan memberatkan masyarakat dan menghambat terwujudnya tertib administrasi pertanahan.<br />
<br />
Berdasarkan hasil pengamatan kami ke beberapa daerah pada tahun 1999, penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh beberapa Kantor Pertanahan belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yo.PMNA/KBPN No. 3 1997, sehingga tidak mempunyai ciri sebagai pendaftaran modern yang mengharuskan adanya peta pendaftaran. Seorang reseach fellow dari University of Tokyo dalam Seminar Internasional ke 6 tentang Konsolidasi Tanah dan Pembangunan Perkotaan menyatakan bahwa "land registration in Indonesia is unclear". Pada umumnya yang menjadi kelemahan pelaksanaan pendaftaran tanah sekarang ini adalah jenis kegiatan manajemen dokumentasi pertanahaan (land records management) dan pengukuran pemetaan.<br />
<br />
Dalam manajemen dokumentasi pertanahan pada umumnya Kantor Pertanahan tidak membuat daftar tanah yang mencatat semua bidang tanah yang telah diukur, begitu juga distribusi Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde 1 dan 2 tidak dipetakan dalam peta Kabupaten/Kota sehingga mengakibatkan tumpang tindih Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang pembuatannya melalui proyek-proyek yang berbeda. Sedangkan dalam bidang pengukuran dan pemetaan, kelemahan mendasar adalah penerbitan sertipikat tidak diikuti dengan pembuatan peta pendaftaran. Kelemahan dalam bidang pengukuran dan pemetaan ini, kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai prosedur kerja pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam PMNA No. 3 tahun 1997, ataukah disebabkan oleh hal lain ? Perlu diteliti lebih jauh.<br />
<br />
Kedua kegiatan kurang mendapatkan perhatian serius padahal sebenarnya kegiatan inilah inti dari pendaftaran tanah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan, karena tanpa memperhatikan kedua kegiatan ini akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti timbulnya tumpang tindih sertipikat, kesulitan mencari dokumen pada waktu diperlukan. Selain itu tanpa memperhatikan kedua jenis kegiatan tersebut, maka pembangunan Sistem Informasi Pertanahan akan mengalami kesulitan besar.<br />
<br />
Sebagai kontrol penerbitan surat keputusan pemberian hak, Kepala BPN mempunyai kewenangan membatalkan surat keputusan pemberian hak tanah yang dalam penerbitannya oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi mengandung cacat hukum. Apabila semua kewenangan pemberian hak tanah dan pembatalannya berada disatu tangan, fungsi kontrol dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang mengandung cacat hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan tugas lain Instansi Pertanahan adalah menyelesaikan permasalahan pertanahan. Permasalahannya adalah apabila dalam suatu sengketa tanah yang strategis, lintas sektoral dan berdampak nasional serta melibatkan Pemerintah Daerah, akan sulit bagi Pemerintah Daerah untuk menyelesaikannya secara obyektif. Sebagai contoh adalah permasalahan tanah timbul di Segara Anak Propinsi Jawa Tengah yang sekarang ini diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap, Departemen Kehutanan, Departemen Kehakiman dan HAM, menurut pendapat kami seharusnya ditangani oleh Pemerintah Pusat.<br />
5. Kesimpulan<br />
1. Walaupun dikatakan dalam pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 bahwa bidang pertanahan merupakan bidang yang wajib dilaksanakan di Daerah, namun melihat sebagian fungsi pertanahan bersifat pekerjaan yang menuntut objektifitas dan kemandirian dalam pendaftaran tanah (dibandingkan dengan Kantor Imigrasi yang mengeluarkan paspor dan Kantor Pendaftaran Fidusia yang mendaftarkan fidusia masih tetap merupakan kewenangan Pemerintah Pusat), penyelesaian masalah pertanahan yang strategis dan bersifat nasional serta kegiatan yang bersifat lintas propinsi seperti pembebanan hak tanggungan, maka kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidan pertanahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 perlu diperluas. <br />
2. Dengan mengingat hal-hal yang kami kemukakan dalam bahasan sebelumnya, kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana disebutkan PP. 25 tahun 2000 perlu diperluas dengan memasukan kewenangan BPN yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan ditambah beberapa hal, antara lain; penyelenggaraan pendaftaran tanah, pemberian hal pengelolaan dan pemberian hak pakai Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang dikeluarkan daerah yang dalam penerbitannya mengandung cacat hukum, penyelesaian masalah pertanahan yang strategis dan bersifat nasional misalnya sengketa tanah yang melibatkan Pemerintah Pusat,dan Pemerintah Daerah. <br />
3. Kelemahan yang mendasar pada Kantor pertanahan adalah bidang Manajemen Dokumen Pertanahan serta Bidang Pengukuran dan Pemetaan yang sangat mempengaruhi kinerja Kantor Pertanahan. Kondisi ini disebabkan antara lain kurangnya sarana dan prasarana, biaya dan terutama tingkat profesionalisme staf yang belum memadai. Untuk meningkatkan profesionalisme sumberdaya manusia dibidang pertanahan perlu dipikirkan menghidupkan kembali kursus- kursus profesional setingkat DI, DII dan DIII agar benar-benar dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang profesional khususnya bidang pendaftaran tanah dan pengukuran dan pemetaan yang selama ini ketrampilannya tidak sebagaimana yang diharapkan. <br />
4. Walaupun penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat, tetapi untuk kelancaran pelayanan masyarakat tetap dilaksanakan di daerah, dan untuk hal tersebut perlu dibuat kantor untuk melaksanakannya seperti Kantor Pendaftaran Fidusia, Kantor Imigrasi. <br />
5. Terwujudnya tertib administrasi pertanahan sangat ditentukan oleh penyelenggaraan pendaftaran tanah. Berdasarkan fakta selama ini pendaftaran tanah melalui pendekatan sporadik banyak menimbulkan masalah antara lain timbulnya tumpang tindih sertipikat, bidang tanah yang terdaftar tidak diketahui tempatnya, karena itu pendaftaran tanah melalui pendekatan sistematik perlu ditingkatkan. <br />
<br />
<br />
» Ir. Rizal Anzhari: penulis adalah Inspektur Utama Utama Badan Pertanahan Nasional.<br />
http://www.bpn.go.id/html/artikel/artikel002.html?print=yes<br />
<br />
PARADIGMA PERTANGGUNGJAWABAN TUN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.: 22 TAHUN 1999<br />
<br />
Oleh : Suprayitno, SH. MH<br />
<br />
Dengan diundangkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah membawa berbagai implikasi sebagai akibat adanya pergeseran kewenangan yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Artinya kewenangan-kewenangan yang dulu selalu diatur dan tanggungjawab Pemerintah Daerah.<br />
<br />
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No: 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa: Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.<br />
Ini berarti bahwa sebagian besar kewenangan dibidang Pemerintahan adalah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat hanyalah sebatas menyiapkan dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kebijakan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2), dengan pengecualian menyangkut kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal serta agama.<br />
Dengan demikian Pemerintah Pusat tidak lagi bertindak sebagai penentu atau penetap setiap kebutuhan Daerah.<br />
Ini merupakan suatu paradigma perubahan atau pergeseran kewenangan pemerintah, yang pada Era Undang-undang No: 5 Tahun 1974 kewenangan tersebut tersentral pada Pemerintah Pusat, maka pada Era Undang-undang No: 22 Tahun 1999 kewenangan Pemerintah tersebut bergeser kepada Pemerintah Daerah.<br />
Pergeseran kewenangan tersebut, meliputi segala aspek kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan pelayanan pemerintahan. Termasuk kewenangan yang bertalian dengan kebijakan mengeluarkan atau menerbitkan berbagai bentuk Keputusan Tata Usaha Negara . Kewenangan Keputusan Tata Usaha Negara yang semula terpusat atau terkonsentrasi pada Pemerintah Pusat, bergeser menjadi kewenangan dan tanggungjawab Daerah. <br />
Bertalian dengan itu Undang-undang Pemerintah Daerah juga menentukan bahwa otonorni yang bertanggungjawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa peningkatan pelayanan kesejahteraan rnasyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.<br />
Makna dari itu semua adalah, terlepasnya hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan, penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain, berpindah menjadi kewenangan dan tanggungjawab Daerah propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Pergeseran dimaksud tercermin juga dalam Pasal 11 yaitu: (1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9; (2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.<br />
Implikasi Kewenangan Tata Usaha Negara<br />
Menurut Undang-undang No: 22 Tahun 1999 Otonomi yang bertanggungjawab adalah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa: peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; pengembangan kehidupan demokrasi; dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />
Dengan demikian dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, diharapkan Daerah dapat lebih mampu dalam memandirikan dirinya.<br />
Bila kita cermati kembali makna Pasal 7 ayat (2) dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) dapat disimpulkan bahwa; segala jenis kewenangan Pemerintah telah rnenjadi kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, kecuali kewenangan Pemerintah Pusat berupa : 5 [lima) bidang kewenangan pemerintahan, serta kewenangan Propinsi sebagaimana termuat dalam Pasal 9, itupun hanya kewenangan yang bila terdapat kewenangan yang merupakan lintas Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak dapat diatur secara sendiri-sendiri oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.<br />
Dengan demikian kewenangan yang dituangkan dalam keputusan tata usaha negara, yang semula melekat pada Pemerintah Pusat (Menteri Dalam Negeri) akan berpindah dan menjadi final serta melekat pada Bupati dan atau Walikota.<br />
Keputusan tata usaha negara yang menjadi final di Daerah berdasarkan pergeseran kewenangan kepada Pemerintah Daerah ini antara lain berupa keputusan tata usaha negara di bidang : pengadaan barang Daerah, penghapusan barang daerah, pengangkatan dalam jabatan Sekda, Kepala Dinas, pergeseran perhitungan APBD, penetapan organisasi daerah, penetapan hak-hak tanah dan pencabutan hak-hak tanah.<br />
Implikasinya terhadap kewenangan keputusan yang telah menjadi final pada Kepala Daerah adalah bahwa : baik tanggungjawab yuridis formal maupun yuridis materil terhadap timbulnya gugatan dari orang atau badan hukum perdata (masyarakat) yang merasa dirugikan kepentingannya sebagai akibat diputuskannya keputusan TUN tersebut, adalah tanggungjawab Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota).<br />
Keutusan TUN dalam Pelayanan Masyarakat.<br />
Pengalaman selama kurun waktu 32 tahun di Era pemerintahan Orde Baru, para birokrat pemerintah telah memposisikan dirinya bukan sebagai abdi masyarakat atau abdi rakyat yang konotasi pengertiannya adalah sebagai pelayan masyarakat atau orang yang melayani kepentingan masyarakat, tetapi kenyataan sebaliknya menjadi birokrat yang maunya dilayani oleh masyarakat.<br />
Perilaku-perilaku mi tercermin dan produk keputusan-keputusan TUN yang cenderung:<br />
merugikan kepentingan masyarakat; menggebiri/ mengurangi hak-hak rakyat; membebani masyarakat tanpa dasar hukum; sewenang-wenang serta meresahkan masyarakat.<br />
Berkaitan dengan itu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah serta pelayanan yang baik kepada masyarakat, pelaksanaan urusan-urusan yang menjadi hak dan tanggungjawab Daerah sebagaimana dimaksud dalarn Undang-undang No: 22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah Bupati/Walikota) harus senantiasa taat azas sebagaimana dimaksud dalarn azas-azas Umum pemerintahan yang Baik (AAUPB).<br />
Secara tersurut rnanfaat AAUPB khususnya, dan manfaat Undang-undang Peradilan TUN pada umumnya, semakin diperlukan masyarakat, mengingat perlindungan terhadap kepentingan masyarakat semakin mendapat perhatian belakangan ini. Kesadaran hukum masyarakat semakin tinggi, yang menjadikan mereka semakin kritis, jika terdapat tindakan pemerintah yang merugikan bagi dirinya. <br />
Sebagai unsure aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas urnum pemerintahan, Pegawai Negeri/Pejabat Pemerintah Daerah mau tak mau harus berprilaku selaras dengan AAUPB.<br />
Meskipun AAUPB, tidak diatur dalam suatu produk legislatif tertentu, namum ia merupakan norma-norma dari doktrin ilmu hukum dan yurisprudensi yang harus diperhatikan oleh setiap Pejabat atau badan TUN. Dalam UU Peraturan sendiri dapat disimpulkan adanya beberapa prinsip AAUPB, seperti yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) sub b, sub c, UU No. 5 Tahun 1986 yaitu,te'ntang: "deternment de pouvoir'' (penyalahgunaan wewenang) dan “willekeur” (sewenang-wenang) yang merupakan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan TUN.<br />
Kecenderungan keputusan TUN bertentangan dengan ketentuan yang berlaku sebagai implikasi adanya: kekurang fahaman pejabat pembuat keputusan TUN dalam mengacu terhadap peraturan perundang-undangan disamping kurang pekanya terhadap permasalahan yang akan diputuskan, sehingga keputusan TUN sewenang-wenang (semaunya pejabat).<br />
Disamping itu, terkesan adanya kecenderungan menyalahgunakan jabatan atau wewenang yang ada pada diri sipejabat, dan sering disebut memperkaya diri sendiri atau berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain. Perbuatan pejabat seperti itu nampaknya memanfaatkan kondisi yang menurut perasaannya seakan-akan sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi sebenarnya "cenderung hanya rnencari celah/kevakinnan dan kelemahan hukum.<br />
Bila AAUPB tidak sinkron dengan kewenangan penetapan keputusan TUN akan menirnbulkan reaksi masyarakat dan menimbulkan sengketa TUN, dengan alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No: 5 Tahun 1986 tentang Peraturan yaitu :<br />
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;<br />
b. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;<br />
c. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.<br />
Kesimpulan<br />
Dari tulisan yang dikemukakan ini, dapat disimpulkan sebagai antisipasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai Undang-undang No: 22 Tahun 1999; adalah;<br />
a. Memahami semua ketentuan yang bertalian dengan urusan yang merupakan kewenangan daerah dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah;<br />
b. Memahami keputusan TUN yang merupakan hak dan kewenangan Daerah sebagai implikasi penyerahan urusan bidang pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal 11;<br />
c. Memahami AAUPB sebagai perwujudan pelaksanaan Pasal 53 Undang-undang No: 5 Tahun 1986;<br />
d. Bertindak proaktif terhadap setiap permintaan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan obyek gugatan di Peradilan tata Usaha Negara. (Penulis adalah Kasubdit Administrasi Pemerintahan Seda dan Kelurahan Direktorat Pemerintahan Desa Ditjen PMD, Depdagri).GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100909811843025327.post-82568064175647804312010-08-20T11:54:00.000-07:002010-08-20T12:04:58.487-07:00Ketentuan Biaya Perjalanan DinasPERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 07/PMK.05/2008<br />
<br />
TENTANG<br />
<br />
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN<br />
NOMOR 45/PMK.05/2007 TENTANG PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI<br />
BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI, DAN PEGAWAI TIDAK TETAP<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,<br />
<br />
Menimbang :<br />
a. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2008, dipandang perlu menyesuaikan pengaturan tarif/biaya penginapan dan uang representatif serta fasilitas angkutan dalam kota/sewa kendaraan bagi Pejabat Negara dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai tidak tetap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.05/2007;<br />
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;<br />
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.05/2007;<br />
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 Standar Biaya Tahun Anggaran 2008;<br />
<br />
MEMUTUSKAN :<br />
<br />
Menetapkan :<br />
<br />
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 45/PMK.05/2007 TENTANG PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI, DAN PEGAWAI TIDAK TETAP<br />
<br />
Pasal I<br />
<br />
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.05/2007, diubah sebagai berikut :<br />
1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :<br />
<br />
Pasal 5<br />
(1) Biaya perjalanan dinas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), terdiri :<br />
a. uang harian, terdiri dari uang makan, uang saku, dan transport lokal;<br />
b. biaya transport pegawai;<br />
c. biaya penginapan;<br />
d. uang representatif;<br />
e. sewa kendaraan dalam kota.<br />
(2) Khusus untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf g dan h, selain biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan biaya menjemput/mengantar jenazah, terdiri :<br />
a. biaya pemetian;<br />
b. biaya angkutan jenazah.<br />
(3) Biaya perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digolongkan dalam 6 (enam) tingkat, yaitu : <br />
a. Tingkat A untuk Pejabat Negara (Ketua/Wakil Ketua dan Anggota Lembaga Tinggi Negara, Menteri dan setingkat Menteri);<br />
b. Tingkat B untuk Pejabat Negara Lainnya dan Pejabat Eselon I; <br />
c. Tingkat C untuk Pejabat Eselon II;<br />
d. Tingkat D untuk Pejabat Eselon III/Golongan IV;<br />
e. Tingkat E untuk Pejabat Eselon IV/Golongan III;<br />
f. Tingkat F untuk PNS Golongan II dan Golongan I;<br />
(4) Penyertaan tingkat biaya perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di lingkungan Kementerian Pertahanan/TNI ditetapkan oleh Menteri Pertahanan dan di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.<br />
(5) Biaya perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan berdasarkan tingkat perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dengan pengaturan sebagai berikut :<br />
a. Uang Harian, sebagaimana tercantum pada Lampiran I;<br />
b. Fasilitas Transport, sebagaimana tercantum pada Lampiran II;<br />
c. Fasilitas dan Kelas Penginapan, sebagaimana tercantum pada Lampiran III;<br />
d. Biaya Pemetian dan Angkutan Jenazah, termasuk yang berhubungan dengan pengruktian/pengurusan jenazah, sebagaimana tercantum pada Lampiran IV;<br />
e. Perkiraan Biaya Penginapan Berdasarkan Tarif Rata-Rata Hotel, sebagaimana tercantum pada Lampiran V;<br />
f. Uang Representatif dan Sewa Kendaraan Dalam Kota sebagaimana tercantum pada Lampiran VII;<br />
<br />
<br />
2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :<br />
<br />
Pasal 8<br />
<br />
Perjalanan dinas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diberikan biaya-biaya sebagai berikut :<br />
1. uang harian, biaya transport pegawai, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota untuk perjalanan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, b, c, dan e;<br />
2. biaya transport pegawai, untuk perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf d dan f, dengan uang harian yang dapat diberikan setinggi-tingginya 30% (tiga puluh persen) dari uang harian bagi yang ditugaskan mengikuti pendidikan dinas di luar Tempat Kedudukan;<br />
3. uang harian, biaya transport pegawai/keluarga, dan biaya penginapan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang, serta biaya pemetian dan angkutan jenazah untuk perjalanan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf g dan h.<br />
<br />
3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :<br />
<br />
Pasal 9<br />
<br />
Uang harian dan uang representatif dalam rangka perjalanan dinas jabatan serta biaya pemetian jenazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dibayarkan secara lumpsum dan merupakan batas tertinggi.<br />
<br />
4. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :<br />
<br />
Pasal 10<br />
<br />
Biaya transport pegawai, biaya penginapan, dan sewa kendaraan dalam kota dalam rangka perjalanan dinas jabatan serta biaya angkutan jenazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dibayarkan sesuai dengan Biaya Riil.<br />
<br />
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :<br />
<br />
Pasal 11<br />
(1) Uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota perjalanan dinas jabatan diberikan :<br />
a. untuk perjalanan dinas yang memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) jam;<br />
b. menurut banyak hari yang digunakan untuk melaksanakan perjalanan dinas;<br />
c. selama 2 (dua) hari untuk transit menunggu pengangkutan lanjutan dalam hal harus berpindah ke alat angkutan lain;<br />
d. selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat bertolak ke/datang dari luar negeri;<br />
e. selama-lamanya 10 (sepuluh) hari di tempat yang bersangkutan jatuh sakit/berobat dalam hal pegawai yang sedang melakukan perjalanan dinas jatuh sakit;<br />
f. selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari dalam hal pegawai melakukan tugas detasering;<br />
g. selama-lamanya 7 (tujuh) hari setelah diterima keputusan tentang perubahan detasering menjadi penugaspindahan;<br />
h. selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat penjemputan jenazah dan selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat pemakaman jenazah dalam hal jenazah tersebut tidak dimakamkan di tempat kedudukan almarhum/almarhumah yang bersangkutan untuk pejabat negara/pegawai yang meninggal saat melaksanakan perjalanan dinas;<br />
i. selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat pemakaman jenazah pejabat negara/pegawai yang meninggal dan dimakamkan tidak di tempat kedudukan almarhum/almarhumah yang bersangkutan.<br />
(2) Dalam hal perjalanan dinas jabatan dilakukan secara bersama-sama untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu, penginapan/hotel untuk seluruh pejabat negara/pegawai dapat menginap pada hotel/penginapan yang sama, sesuai dengan kelas kamar penginapan/hotel yang telah ditetapkan untuk masing-masing pejabat negara/pegawai negeri.<br />
(3) Perjalanan dinas jabatan pulang dan pergi yang memakan waktu kurang dari 6 (enam) jam, diberikan biaya perjalanan dinas setinggi-tingginya 60% (enam puluh persen) dari uang harian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini.<br />
<br />
<br />
6. Ketentuan Pasal 15 diubah sehinggal Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :<br />
<br />
Pasal 15<br />
(1) Dalam hal jumlah hari perjalanan dinas jabatan ternyata melebihi jumlah hari yang ditetapkan dalam SPPD, pejabat yang berwenang dapat mempertimbangkan tambahan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sepanjang kelebihan tersebut bukan disebabkan kesalahan/kelalaian pejabat negara/pegawai negeri bersangkutan.<br />
(2) Tambahan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dipertimbangkan untuk hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d, e, f, g, h, dan i.<br />
(3) Dalam hal jumlah hari menunggu sambungan dengan alat angkutan lain ternyata lebih dari 2 (dua) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c, maka Pejabat yang Berwenang dapat mempertimbangkan pemberian tambahan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sepanjang kelebihan tersebut bukan disebabkan kesalahan/kelalaian pejabat negara/pegawai negeri bersangkutan.<br />
(4) Dalam hal jumlah hari perjalanan dinas ternyata kurang dari jumlah hari yang ditetapkan dalam SPPD, maka pejabat negara/pegawai negeri yang bersangkutan wajib menyetorkan kembali kelebihan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota uang telah diterimanya.<br />
(5) Ketentuan penyetoran kembali kelebihan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atas tidak berlaku untuk hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf g.<br />
<br />
7. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:<br />
<br />
Pasal 16<br />
(1) Perjalanan dinas dilakukan SPPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang menurut contoh sebagaimana tercantum pada Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini.<br />
(2) Pejabat yang Berwenang hanya dapat menerbitkan SPPD untuk perjalanan dinas yang biayanya dibebankan pada anggaran yang tersedia pada kantor/satuan kerja berkenaan.<br />
(3) Dalam hal SPPD ditandatangani oleh atasan langsung pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) huruf a, maka pembiayaan perjalanan dinas dapat dibebankan pada kantor/satuan kerja Pejabat yang Berwenang tersebut.<br />
(4) Pejabat yang Berwenang dalam menerbitkan SPPD sekaligus menetapkan tingkat golongan perjalanan dinas dan alat transport yang digunakan untuk melaksanakan perjalanan yang bersangkutan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan perjalanan dinas tersebut.<br />
<br />
Pasal II<br />
<br />
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 1 Januri 2008.<br />
<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ditetapkan di Jakarta<br />
Pada tanggal 30 Januari 2008<br />
MENTERI KEUANGAN<br />
<br />
ttd.<br />
<br />
SRI MULYANI INDRAWATIBIAYA <br />
<br />
<br />
<br />
BIAYA PERJALANAN DINAS PEJABAT NEGARA DAN PEGAWAI DI PENGADILAN TUN <br />
DALAM PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SETEMPAT SENGKETA TUN <br />
<br />
<br />
<br />
I. UANG HARIAN PER HARI Rp. 300.000,-<br />
- UANG MAKAN<br />
- UANG SAKU<br />
- TRANSPORT LOKAL<br />
<br />
II. TRANSPORT (KENDARAAN, BENSIN, SOPIR) PERHARI Rp. 500.000,-<br />
(BIAYA BISA LEBIH SESUAI DENGAN PENGELUARAN <br />
SENYATANYA)<br />
<br />
III.UANG REPRESENTATIF PERHARI ( PEJABAT NEGARA/<br />
PEJABAT ESELON I DAN ESELON II) Rp. 200.000,-<br />
<br />
IV. PENGINAPAN SESUAI DENGAN BIAYA DI DAERAH YANG<br />
DITUJU.<br />
(HAKIM SETARA DENGAN HOTEL BINTANG IV DAN PANITERA/PANITERA PENGGANTI (GOL.III SETARA<br />
DENGAN HOTEL BINTANG II DAN GOL.IV SETARA<br />
DENGAN HOTEL BINTANG III)<br />
CONTOH HOTEL DI PALEMBANG BIAYA PERHARI ;<br />
BINTANG IV Rp. 567.000,-<br />
BINTANG III Rp. 335.000,-<br />
BINTANG II Rp. 275.000,-<br />
<br />
CATATAN :<br />
<br />
PERINCIAN BIAYA PERJALANAN DINAS INI MENGACU KEPADA Pasal 111 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. PERATURAN MENKEU NOMOR : 07/PMK.05/2008 Tanggal 30 Januari 2008 jo. PERATURAN DIRJEN PERBENDAHARAAN NOMOR: PER-21/PB/2008 Tanggal 5 Juni 2008GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100909811843025327.post-32000097838023647232010-08-20T11:39:00.000-07:002010-08-20T11:39:32.635-07:00Artikel PertanahanKarakter Hukum Sertipikat Hak<br />
<br />
Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.hum<br />
Uraian berikut dibawah ini diawali dengan pertanyaan hukum apakah ada korelasinya antara karakter hukum sertipikat hak dengan status hukum tanah dan akibat hukumnya. Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan dokumen tertulis yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerinah ( badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ) untuk dipergunakan sebagai tanda bukti hak dan alat pembuktian yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Bila mana sertipikat dikatakan sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti hak atas tanah, berarti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang sertipikat tanah menunjukan mereka itu mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu. Ketika suatu sertipikat dikonsepkan sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka sertifikat bukan merupakan alat bukti satu – satunya adanya keberadaan hak kepemilikan atas tanah.<br />
Ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 PP No. 24 tahun 1997, menunjukan konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang dapat dijadikan alas hak ( title) yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum dapat menuntut kepada Negara adanya keberadaan hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki. Secara hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan landasan yuridis guna dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya untuk dapat diterbitkan sertipikat tanda bukti sekaligus alat bukti kepemilikan hak atas tanah. <br />
Pertama, instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang disebut sebagai "hak baru" atas tanah harus dibuktikan dengan "Penetapan pemerintah" yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang apabila hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. Wujud kontret dari penetapan pemerintah ini adalah Surat Keputusan Pemberian hak kepemilikan atas tanah (SK hak milik, SK HGB, dst); dan atau<br />
Kedua, akta otentik PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ) menurut ketentuan hukum termasuk alat bukti kepemilikan hak baru, dimana akte otentik tersebut memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik. ( pasal 23 PP No. 24 tahun 1997) <br />
Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang disebut sebagai hak atas tanah yang "lama" ( pasal 24 PP No. 24 tahun 1997), yang diakui keberadaannya oleh hukum sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas tanah. Selanjutnya instrument yuridis tentang keberadaan alat bukti kepemilikan tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria ( PMNA)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional ( KBPN ) No. 3 tahun 1997. Didalam pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 dan pasal 60 dari PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, beserta penjelasan pasalnya disebutkan alat bukti kepemilikan lama yakni: grosse/salinan akte eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja, surat tanda bukti hak milik yang dikeluarka berdasarkan peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah memenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, petok D / girik, pipil, ketitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, akta pemindahan hak dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala Adat/desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28 tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, risalah lelang, surat penunjukan pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala kantor PBB dengan disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud dalam pasal II, VI, dan VII ketentuan konversi. Alat-alat bukti kepemilikan hak ini pada hakekatnya merupakan representasi dari pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang dipunyai oleh warga Negara Indonesia. <br />
Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara. Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouse " property is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do without it". Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak melepaskan haknya ( peralihan hak). Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke mengenai hak milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural right and that the purpose of Government is to protect and preserve natural property right. Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( UUDNRI 1945). Implementasi dari jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah ( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam UUPA. <br />
Berkaitan dengan hal tersebut diatas,sebagai konsekuensi yuridisnya maka diatur bahwa terhadap tanah hak yang berasal dari hak lama ( adat ) oleh hukum dilakukan perubahan hukum berdasarkan prinsip pengakuan Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah rakyat karena hukum dikonversi sebagai hak-hak yang baru dan jenis-jenis hak atas tanah yang diciptakan oleh UUPA. Pengakuan Negara tersebut memunculkan model sertipikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat " Deklaratif" ( declaratoir). Disamping model pengakuan Negara terhadap hak atas tanah rakyat, Negara mengakomodir adanya hak atas tanah yang muncul yang berasal dari status tanah-tanah diluar tanah hak yang dikuasai rakyat ( tanah Negara ). Hak atas tanah ini terbit berdasarkan pada tindakan pemerintah yang berupa "penetapan" atau " keputusan" hak memunculkan model sertifikat yang berkarakter yuridis yang bersifat "Konstitutif"( Konstitutief). <br />
Dalam ajaran hukum bahwa yang disebut sebagai suatu ketetapan atau keputusan yang bersifat deklaratif yakni suatu ketetapan atau keputusan yang menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum yang sebetulnya memang telah ada sebelumnya. Utrecht menyebutkan bahwa suatu ketetapan / keputusan deklaratif merupakan ketetapan yang hanya menyatakan yang bersangkutan dapat diberikan haknya karena termasuk golongan ketetapan yang menyatakan hukum ( rechtsvastellende beschikking), sedang yang disebut sebagai ketetapan Konstitutif adalah ketetapan membuat hukum baru ( rechtscheppend). Menurut P. de Haan cs, " Bestuursrecht in de sociale rechtsstaat" halaman 30, yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon terdapat pengelompokan Beschikking, khusus yang disebut sebagai keputusan deklaratur maupun konstitutif (Rechtsvastellend en rechtsscheppend ) diuraikan bahwa Pada keputusan Tata Usaha Negara deklaratif hubungan hukum pada dasarnya sudah ada. Contoh: akte kelahiran, hak milik atas tanah eks hukum adat. Relevansi praktis dari pembedaan ini berkaitan dengan alat bukti. Keputusan tata usaha Negara deklaratif bukanlah alat bukti mutlak. Adanya hubungan hukum masih mungkin dapat dibuktikan dengan alat bukti lain. Pada keputusan Tata Usaha Negara konstitutif, adanya keputusan tata usaha Negara merupakan syarat mutlak lahirnya hubungan hukum. Contoh: sertifikat HGB, SK pengangkatan sebagai pegawai negeri dan lain-lain; berbeda dengan keputusan tata usaha Negara deklaratif, dalam keputusan tata usaha Negara konstitutif merupakan alat bukti mutlak. Dengan kata lain, tidak ada hubungan hukum tanpa adanya keputusan tata usaha Negara yang sifatnya konstitutif.<br />
Ajaran hukum tersebut selaras dengan konsep hukum tanah yang pada prinsipnya yang diatur dalam UUPA bahwa hak kepemilikan atas tanah tercipta atau lahir dapat berasal dari: <br />
1. Berdasarkan pada konsep pengakuan adanya keberadaan hak kepemilikan yang telah ada sebelum UUPA yang dalam hal ini masuk dalam kelompok tanah hak barat yang disebut sebagai tanah yang pernah " terdaftar" dan kelompok yang belum pernah terdaftar yakni seperti tanah hak masyarakat ( adat ) yang diakui tanah milik adat dan;<br />
2. Hak kepemilikan atas tanah yang lahir atau diperoleh berdasarkan ketentuan hukum ( undang-undang) yang berupa Penetapan Pemerintah.<br />
Kedua kelompok ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda terhadap pengaturan hukum ketata usahaan pendaftaran dan alat bukti hak atas tanah, serta akibat hukum yang ditimbulkan bila terjadi sengketa hak kepemilikan atas tanahnya. <br />
Pertama, Hak kepemilikan atas tanah yang lahir karena Penetapan Pemerintah ( istilah lain dari keputusan pemberian hak ) sesuai dengan ajaran ilmu hukum dan sebagaimana diatur dalam ketentuan UUPA maupun peraturan pelaksanaannya dilahirkan berdasarkan pada suatu tindakan atau perbuatan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berupa keputusan pemberian hak milik. Dalam konteks ini hubungan hukum antara subyek dan obyek secara yuridis belum ada. Hubungan yang terjadi antara subyek dan obyek hanya sekedar hubungan penguasaan secara fisik ( possession ). Secara hukum baru ada setelah adanya Keputusan Penetapan Hak Kepemilikan atas tanah dan selanjutnya berdasarkan keputusan atau ketetapan hak inilah yang menjadi dasar alas hak pendaftaran hak dan terbitnya sertifikat hak kepemilikan atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat Konstitutif. Ciri khas dari model ketetapan atau keputusan pemberian atas tanah dan yang melahirkan sertifikat yang bersifat konstitutif berasal dari obyek tanah yang berstatus tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau "tanah Negara".<br />
Pengaturan lebih lanjut terhadap keputusan pemberian hak atas tanah yang berstatus tanah negara ini dapat terbaca dalam beberapa peraturan perundangan antara lain: Keppres No. 32 tahun 1979 tentang Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, Peraturan Menteri Dalam Negeri ( PMDN) No. 5 tahun 1973, Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, yo. PMDN No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Pemberian Hak Atas Tanah. Peraturan ini dicabut oleh PMNA /KBPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yo. PMNA/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Keseluruhan bentuk atau macam sebutan tanah-tanah negara merupakan obyek dari keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konstitutif, dimana untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut diperlukan suatu permohonan kepada negara dan apabila persyaratan dianggap telah memenuhi dan permohonan dikabulkan maka Badan atau Pejabat Tata usaha negara yang berwenang untuk itu melakukan tindakan hukum berupa menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah kepada pemohon. Dengan adanya Keputusan tersebut muncul hubungan hukum antara obyek ( tanah negara ) dengan subyek yaitu seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan hak atas tanah negara tersebut dan sejak saat dikeluarkan keputusan tersebut maka terbit Hak kepemilikan Atas Tanah yang bersangkutan. Dengan catatan bahwa yang bersangkutan memenuhi segala persayaratan yang ditentukan didalam keputusan tersebut. Apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka hak tersebut menjadi " batal " dengan sendirinya dan tanahnya kembali dikuasai oleh negara atau menjadi tanah negara kembali. Dengan perkataan lain bahwa Karakter khas yang muncul dari tanah – tanah yang berstatus tanah negara yang oleh negara yang diberikan sesuatu hak atas tanah adalah: <br />
1. sebelum terbit sertifikat hak atas tanah yang dipergunakan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah, akan didahului dengan adanya tindakan hukum dari pemerintah yang dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Badan atau Pejabat Tata usaha Negara yang diwujudkan dalam Keputusan berbentuk " Surat Keputusan" ( SK) pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan haknya; <br />
2. didalam ketetapan yang berupa suatu keputusan pemberian hak tersebut selalu ada persyaratan-persyaratan baik berupa persyaratan umum maupun khusus maupun kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, dengan akibat hukum " batal" dengan sendirinya apabila persyaratan dan atau kewajiban tidak dipenuhi oleh mereka yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan. <br />
Gambar 4. Skema pendaftaran Sertifikat berkarakter yuridis bersifat Konstitutif.<br />
<br />
<br />
Kedua, hak kepemilikan atas tanah yang telah ada baik hak barat maupun hak adat ( terdaftar maupun yang belum terdaftar) diakui keberadaannya yang oleh UUPA diubah kedalam bentuk baru ( konversi ) jenis-jenis hak ciptaan UUPA. Pengakuan negara dan perubahan kepada hak baru dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Pada prinsipnya pengakuan negara terhadap keberadaan hak kepemilikan atas tanah yang ada dituangkan kedalam bentuk penegasan, dan Sesuai dengan ajaran hukum penegasan semacam ini disebut sebagai suatu keputusan yang dalam wujud konkretnya berupa keputusan penegasan (deklaratif). Dalam model keputusan deklaratif ini syarat adanya keputusan Tata Usaha Negara bukan merupakan syarat mutlak adanya hubungan hukum antara subyek dan obyeknya pada dasarnya telah ada. Hubungan hukum antara subyek dan obyeknya dapat dibuktikan dengan alat bukti keperdataan tertulis yang lain ( PP No. 24 tahun 1997 yo. PMNA/ KBPN No. 3 Tahun 1997). Ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi UUPA, PMA No. 2 tahun 1960 tentang Pelaksana beberapa ketentuan Undang Undang Pokok Agraria Yo. PMA No. 5 tahun 1960 dan PMPA No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Hak-Hak Indonesia, merupakan bentuk adanya pengakuan oleh negara terhadap hak-hak rakyat baik hak kepemilikan yang diatur menurut hukum perdata barat ( BW) maupun hak-hak tanah adat. <br />
Namun demikian ada karakter hukum yang khas dari ketentuan penegasan konversi hak kepemilikan atas tanah dalam UUPA. Hukum mengatur adanya prinsip-prinsip "Nasionalitas" yang wajib hukumnya harus dipenuhi bagi pemegang hak atas tanah agar dapat memperoleh pengakuan dan penegasan hak atas tanahnya. Maksudnya adalah pengakuan penegasan terhadap hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah antara pemegang hak dengan obyeknya diakui oleh negara syaratnya adalah Warga negara Indonesia. Konsekuensi hukum bilamana syarat tersebut tidak dipenuhi maka hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah diubah (diturunkan) kepada hak jenis lain dan dalam jangka waktu tertentu dicabut oleh negara, sehingga berdasarkan ketentuan hukum ( UUPA) status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara ( tanah negara). Untuk hak atas tanah yang berasal dari bekas hak barat ( pasal I ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA): Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yakni harus Warganegara Indonesia sejak 24 september 1960. berdasarkan ketentuan pembuktian kewarganegaraan diberikan waktu 6 (enam ) bulan (pasal 2 PMA No. 2 tahun 1960). Pemegang hak eigendom yang dapat membuktikan kewarga negaraannya maka oleh KKPT ( Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ) saat ini Kepala Kantor Pertanahan, eigendomnya dikonversi menjadi hak milik dan tanda bukti kepemilikan hak tersebut dicatat baik pada asli akta maupun didalam salinan aktanya, demikian disebutkan dalam pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960. Pencatatan konversi oleh KKPT ini dilaksanakan dengan membubuhi keterangan dengan kata-kata " Berdasarkan pasal dan ayat ketentuan konversi Undang-Undang Pokok Agraria dikonversi menjadi: Hak ( isi: milik, guna bangunan, Guna usaha atau pakai) dengan jangka waktu" ( pasal 18 PMA No. 2 tahun 1960). Akibat hukumnya apabila pemegang hak tidak melaporkan status hukum kewarganegaraannya dalam waktu 6 bulan atau tidak dapat membuktikan kepemilikannya maka menurut hukum hak eigendomnya berubah menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun. Dan setelah 20 tahun jika tidak diperbaharui haknya hapus menjadi tanah negara berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1979 yo. PMDN No. 3 tahun 1979. Untuk pengakuan negara terhadap tanah-tanah Adat diatur dalam pasal II dan pasal VII Ketentuan konversi UUPA. Dalam pasal II Ketentuan Konversi berisi hak – hak atas tanah-tanah adat yang memberikan wewenang yang mirip dengan hak milik pasal 21 UUPA dikonversi menjadi hak milik, bilamana memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 UUPA yaitu: hak Agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landrijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, demikian juga tanah pekulen, sanggan, gogolan yang sifatnya tetap dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri agraria, sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 UUPA. Mengingat adanya perbedaan karakter tersebut maka sebagai konsekuensi hukumnya akan berbeda pula pada saat terjadi pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanahnya yang menjadi alas atau dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut. <br />
Skema pendaftaran Sertipikat yang berkarakter yuridis bersifat Deklaratif. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TINJAUAN PERSOALAN HUKUM PEMILIKAN TANAH (BEKAS ) EIGENDOM <br />
(Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.Hum)<br />
<br />
<br />
PENDAHULUAN<br />
Merdeka sudah 63 tahun, namun persoalan tanah yang berkaitan hak kepemilikan tanah dengan title hak barat seperti eigendom, opstal, erfpacht dll, masih juga menimbulkan persoalan-persoalan baru dimasyarakat. Padahal sejak tahun 1960 hak kepemilikan atas tanah tersebut ada yang telah dihapus atau dikonversi dalam menjadi hak-hak pemilikan yang baru. Dihapus karena hukum menentukan demikian, misalnya hak tersebut terkena UU No. 1 tahun 1958, terkena nasionalisasi dst. UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau biasa disingkat UUPA ( undang-undang pokok agraria ) merupakan pegangan dan pedoman baru pengaturan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah setelah kita merdeka, dan sekaligus mencabut ketentuan hukum sebelumnya yang mengatur tentang hak-hak barat tersebut ( buku II BW yang berkaitan dengan tanah ). Alasan politisnya sangat ekploitatif- feodalisme dan diskriminatif, tidak sesuai dengan dasar falsafah dan kemerdekaan Indonesia. Filosofi konversi hak oleh Negara adalah bentuk pengakuan Negara atas hak keperdataan warga Negara dan kedua, pengaturan kembali hukum hak atas tanah yang lama yang bersifat ekploitatif- diskriminatif, disesuaikan dengan dasar-dasar hukum Indonesia yang berlandaskan pada hukum (adat). <br />
Dasar hukum pengaturan tanah bekas hak barat diatur dalam UUPA, beserta beberapa peraturan pelaksanaannya: PMA ( Peraturan Menteri Agraria )No. 2 tahun 1960, PMA No. 13 tahun 1961, Keppres 32 tahun 1979 jo. PMDN No. 3 tahun 1979, PMDN No. 6 tahun 1972, PMDN No. 5 tahun 1973 dan terakhir PMNA No. 9 tahun 1999.<br />
Isu hukum yang hendak disampaikan disini adalah khusus tentang prinsip dasar pengaturan pemilikan tanah ( bekas ) hak eigendom sejak terbitnya UUPA tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hal tersebut. <br />
Hak Eigendom<br />
Hak Eigendom atau lengkapnya disebut " eigendom recht" atau "right of property" dapat diterjemahkan sebagai " hakmilik ", diatur dalam buku II BW ( burgerlijke wetboek) atau KUHPerd (Kitab Undang-Undang HUkum Perdata ). Hak eigendom ini dikontruksikan sebagai hak kepemilikan atas tanah yang tertinggi diantara hak-hak kepemilikan yang lain. Hak eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas tanah yang terpenuh, tertinggi yang dapat dipunyai oleh seseorang. Terpenuh karena penguasaan hak atas tanah tersebut bisa berlangsung selamanya, dapat diteruskan atau diwariskan kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas atas tanah ini tidak dibatasi jangka waktu, tidak seperti jenis hak atas tanah yang lain, misalnya hak erfpacht ( usaha ) atau hak opstal ( bangunan ). ( lihat pasal 570 BW).<br />
Pada tahun 1960 semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom bukan dihapus namun di ubah atau dikonversi " convertion", conversie" menjadi jenis-jenis hak atas tanah tertentu, dengan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, hak eigendom menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak guna bangunan. Pada tahun 1980 Hak atas tanah (bekas ) barat yang telah dikonversi yang mempunyai jangka waktu serta yang tidak memenuhi syarat hapus, dan tenahnya dikuasai oleh Negara " tanah Negara". Bagi mereka bekas pemegang hak atas tanah diberi kesempatan untuk dapat mengajukan permohonan hak atas tanah bekas haknya sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan umum atau jika tidak diduduki oleh masyarakat pada umumnya.<br />
Pengertian konversi ini dalam hukum pada asasnya adalah merupakan perubahan atau penyesuaian atau bisa dikatakan penggantian yang bertujuan untuk penyeragaman atau unifikasi hukum. Dengan kata lain konversi ini bertujuan mengadakan konstruksi ulang pengaturan hak atas tanah yang diatur oleh hukum sebelumnya diubah disesuaikan dengan hukum yang baru. Hak eigendom yang sebelumnya diatur oleh hukum perdata barat atau BW ( Burgelijke van Wetboek ) termasuk disini hak atas tanah adat, sejak berlakunya UUPA, diubah atau disesuaikan dengan undang-undang ini. Berdasarkan hukum konversi hak atas tanah barat dan adat menjadi suatu hak atas tanah yang baru terjadi karena hukum ( van rechtwege). Konversi karena hukum baru akan terjadi apabila memenuhi suatu persyaratan tertentu dan dilakukan dengan suatu tindakan hukum berupa suatu penetapan keputusan dari pejabat yang berwenang yang berupa pernyataan penegasan ( deklaratur ) pernyataan penegasan ini untuk status hukum hak atas tanah dan jenisnya dan terpenuhinya syarat bagi pemegang haknya. Misalnya hak eigendom dikonversi menjadi hak milik. Artinya syarat untuk konversi eigendom menjadi hak milik karena persyaratan subyek dan obyeknya terpenuhi. <br />
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam konversi hak eigendom berkaitan antara hubungan hukum antara subyek dan obyek hukum yang berakibat pada perubahan status hukum hak atas tanah:<br />
Pertama, hak eigendom dikonversi menurut hukum menjadi hak milik, apabila subyek pemegang haknya adalah warga Negara Indonesia; Kedua, hak eigendom akan dikonversi menjadi hak guna bangunan apabila pemegang haknya tidak memenuhi syarat untuk dapat memperoleh hak milikmaka hak eigendom akan dikonversi menjadi hak guna bangunan atau jenis hak yang lainnya; Ketiga, hak eigendom menjadi tanah yang dikuasai Negara apabila pemegang haknya dalam jangka waktu tertentu tidak mendaftarkan hak konversinya kepada pejabat yang berwenang.<br />
PENGATURAN HAK EIGENDOM<br />
Prinsip dasar yang harus dipegang oleh pemegang hak eigendom sejak tanggal 24 september 1960 (berlakunya UU No. 5 tahun 1960 ) hukumnya wajib mendaftarkan hak konversinya, hal ini merupakan perintah undang-undang. ( lihat pasal I ketentuan konversi UUPA ). Apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang ( lihat pasal 21 UUPA) maka berdasarkan ketentuan konversi sebagaimana yang diatur dalam pasal I konversi UUPA sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali yang mempunyainya tidak memenuhi syarat <br />
Syarat yang harus dipenuhi bagi para bekas pemegang hak eigendom yang ingin dikonversi menjadi hak milik ( menurut UUPA ). Pada pokoknya secara hukum mereka ini pada tanggal 24 september 1960, berstatus warga Negara indonesia dan mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa akta asli ( minuut ) atau salinan ( grosse ) eigendom ( lihat PMA No. 2 tahun 1960 ). Luasan tanahnya tidak melebihi batas maksimum dan atau tidak absentee ( gontai ) ( lihat UU No. 56 tahun 1960 jo. PP No. 24 tahun 1961 ). Selanjutnya jangka waktu pendaftarannya tidak melebihi batas waktu yang ditentukan yakni 1 tahun sejak 24 september 1960. Bilamana syarat tersebut dipenuhi maka pejabat administrasi yang berwenang dalam hal ini Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( KKPT ) pada waktu itu ( BPN setempat saat ini ) akan mencatat / mendaftar penegasan konversi hak eigendom tersebut dalam buku tanah dan dikeluarkan sertifikat hak milik atas nama pemegang bekas hak eigendom tersebut. Tata cara mekanisme pencatatan penegasan konversi pendaftaran ini lebih rinci diatur dalam PP ( peraturan Pemerintah ) No. 10 tahun 1961 yang selanjutnya diubah dan diganti dengan PP No. 24 tahun 1997, sedang aturan pelaksanaannya diatur dalam PMNA ( Peraturan Menteri Negara Agraria ) /KBPN ( Kepala Badan Pertanahan Nasional ) No. 3 tahun 1997.<br />
Namun sebaliknya apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka hak eigendom tersebut demi hukum berubah ( konversi ) menjadi hak guna bangunan yang berlangsung selama 20 tahun. Selanjutnya hak tersebut hapus, sedangkan tanah tersebut berubah status hukumnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah Negara ( lihat Keppres ( keputusan presidan ) No. 32 tahun 1979). Dalam posisi demikian hubungan hukum antara pemilik ( selanjutnya disebut sebagai bekas pemegang hak ) dengan tanahnya terputus. Namun demikian bekas pemegang hak masih mempunyai hubungan keperdataan dengan benda-benda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut.<br />
Pertanyaan hukumnya adalah apakah bekas pemegang hak masih dimungkin memperoleh hak atas tanah yang dikuasai Negara tersebut?<br />
Prinsip dasar, pertama, Hukum mengatur bahwa sejak tahun 1980 seluruh hak-hak barat sudah tidak ada lagi ( karena konversi ) atau hapus yang ada adalah tanah Negara bekas hak barat. Berdasarkan ketentuan hukum, ada 3 prioritas yang wajib diperhatikan: pertama, kepentingan umum; kedua, kepentingan bekas pemegang hak, dan; ketiga mereka yang penduduki / memanfaatkan tanah dengan etiket baik dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan bekas pemegang hak. Kedua, adanya kompensasi terhadap benda2 diatas tanah Negara bekas hak barat tersebut. Artinya siapapun yang menginginkan hak atas tanah Negara tersebut harus memberikan konpensasi kepada bekas pemegang haknya<br />
Pertama, prioritasnya ada pada Negara adalah dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum atau Negara. Kepentingan umum atau Negara ini perlu penjabaran lebih lanjut. Apakah criteria kepentingan umum atau Negara. Apabila dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan Negara / umum maka tertutuplah kemungkinan bekas pemegang hak dan masyarakat yang menduduki untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Namun demikian Negara akan memberikan kompensasi baik bekas pemegang haknya maupun masyarakat yang pernah menguasai atau mendudukinya.<br />
Kedua, Apabila tanah Negara tersebut tidak dipergunakankan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan tidak ada pendudukan oleh masyarakat maka bekas pemegang hak mendapatkan prioritas memperoleh kembali dengan jalan mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut. Dengan catatan apabila di atas tanah tersebut ada pendudukan masyarakat maka harus ada kompensasinya untuk mereka.<br />
Ketiga, prioritas diberikan kepada masyarakat yang menguasai atau menduduki tanah Negara bekas hak barat tersebut. Apabila bekas hak barat tersebut berupa pekarangan atau lahan tanpa bangunan maka tidak ada kewajiban bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak. <br />
Persoalan hukum yang sering timbul adalah tuntutan mereka menguasai hak eigendom tersebut sebelum tahun 1960 yang diperoleh dari peralihan hak misalnya jual beli, hibah, warisan dll. Disini yang harus diperhatikan adalah apakah tanah eigendom tersebut terkena undang-undang No. 1 tahun 1958, atau terkena undang-undang nasionalisasi dan apakah proses peralihan haknya pada waktu itu sudah memenuhi persyaratan perijinan yang harus dipenuhi.<br />
KESIMPULAN<br />
Tanah – tanah Negara ( bekas) eigendom pada prinsipnya dapat dimohonkan sesuatu hak atas tanah oleh siapapun juga, sepanjang tanah tersebut tidak dipergunakan atau dimanfaatkan untuk Negara atau kepentingan umum. Permohonan hak atas tanah Negara bekas eigendom tidak didasarkan pada riwayat kepemilikan seperti warisan hanya petunjuk bukan satu-satunya pedoman dalam rangka pengajuan. Hubungan hukum hak keperdataan bekas pemegang hak hanyalah berkaitan dengan benda-benda yang ada diatas tanah bukan tanahnya. Status tanahnya adalah " tanah Negara" ( tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ).<br />
Jogya, 25 april 2009<br />
Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.hum.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 03:49 0 komentar <br />
Label: TANAH <br />
Sabtu, 09 Agustus 2008<br />
TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN HAKNYA <br />
TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN HAKNYA<br />
Boedi djatmiko.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Sering kali kita mendengar sebidang tanah disebut sebagai tanah Negara jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan tanah Negara, kenapa disebut demikian, apakah ada perbedaan dengan tanah jenis yang lain, dimana kita menemukan tanah Negara, dimana diatur mengenai tanah Negara ini, dan siapa yang berwenang mengaturnya. Untuk apa tanah Negara apakah kita bisa memiliki tanah Negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka sesuai dengan isu yang hendak dikemukakan yakni tanah Negara dan wewenang pemberian haknya diawali dari pengertian atau makna, selanjutnya sejarah dan ketentuan hukum wewenang pemberian haknya.<br />
<br />
2. KONSEP TANAH NEGARA<br />
Sebutan untuk “ Tanah” ( land ) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah tubuh bumi ( lihat Peter butt, 2001). Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ permukaan bumi” ( lihat pasal 4 ayat 1UUPA). <br />
“Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.<br />
Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atu dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “ possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “ Ownership” dalam pengertian juridis maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu. Bentuk lain bisa juga bahwa tanah tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin yang berhak “ okupasi”. Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada penguasaan secara pisik atau factual tanpa diikuti hak ( right) dalam arti sah secara hukum. “tanah Negara” diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimana Indonesia sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Berasal dari latar belakang system ketatanegara yang berbentuk absolute / monarchi, ( system feodalisme). Tanah dalam wilayah kekuasaan adalah tanah milik Raja / ratu sebagai pemilik. Wilayah kekuasaan cakupannya termasuk daerah jajahan - Indonesia bagian dari wilayah kerajaan Belanda - dan disisi yang lain rakyat yang berada diwilayah tersebut berposisi sebagai penggarap atau penyewa tanah (lihat pula Curzon, 1989). Konsekuensi logis dari model hubungan antara Raja sebagai pemilik dan rakyat sebagai penyewa dikenal sebagai system kepemilikan tanah yang disebut sebagai dotrin “ land tenure”.<br />
Dalam tataran politik hukum tanah pada waktu itu tanah Negara adalah tanah milik Negara ( Raja/Ratu) diterapkan di Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “ agrarisch besluit” yang diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 ( S. 1870-118).<br />
Dalam pasal 1, disebutkan:<br />
“ behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”.<br />
( dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein ( milik ) Negara). Ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan “ Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum ( algemene Domein Verklaring ). Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus ( speciale Domein Verklaring ) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan dalam S. 1875 – 94f, S. 1877 – 55 dan S. 1888 – 55. Rumusannya sebagai berikut:<br />
“ alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement” ( engelbrecht, 1960, halaman 2051).<br />
“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.<br />
<br />
Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara /pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain2nya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah. ( lihat budi harsono, h. 43). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam pasal 1 Agrarisch besluit ini paralel dengan yang diatur dalam BW. Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW, mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya.<br />
<br />
Atas dasar pasal 1 Agrarisch besluit ini maka dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni:<br />
Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “ vrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam ketentuan hukum barat (BW) termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada hukum adat setempat. Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya ternyata pemerintah Hindia Belanda juga berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan menjadi dua:1. Tanah – tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hak-hak milik rakyat oleh suatu Instansi / departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan; 2. Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan departemen dalam negeri ( Binnen van bestuur)<br />
<br />
Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “ onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka ( hak ulayat masyarakat hokum adat).<br />
Setelah kemerdekaan, sebelum terbitnya UU. No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA, pengertian Tanah Negara, ditemukan dalam PP No. 8 tahun 1953 ( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam PP tersebut Tanah Negara dimaknai sebagai “ tanah yang dikuasai penuh oleh negara”. Substansi dari pengertian tanah Negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut apakah hak barat maupun hak adat ( vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (lihat, penjelasan umum II (2) UUPA), artinya negara di kontruksikan negara bukan pemilik tanah, Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang oleh rakyat: a. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.” Substansi tanah Negara setelah UUPA, didalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa pengertian tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.<br />
Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya:<br />
1. Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;<br />
2. Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.<br />
<br />
3. WEWENANG PEMBERIAN HAK<br />
Pada prinsipnya karena status tanah merupakan tanah Negara maka baik pada masa pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan RI, wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Negara, jika masa pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh gubernur jenderal, setelah merdeka wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Menteri selaku pejabat Negara yang mendapatkan wewenang pendelegasian dari Presiden. Dan selanjutnya menteri atau pejabat yang memperoleh delegasi dari presidan melimpahkan tugas dan wewenang tersebut kepada pejabat jajaran yang ada dibawahnya.<br />
Didalam UU No. 7 tahun 1958, tentang peralihan tugas dan wewenang agraria, adalah merupakan peraturan perundangan awal kemerdekaan yang mengatur pelimpahan wewenang kementerian agraria. Di dalamnya disebutkan : Tugas dan wewenang yang menurut peraturan2 undang-undang dan ketentuan2 tata usaha yang tercantum dalam daftar lampiran dari undang2 ini diberikan kepada: a. Gubernur jenderal, direktur van Binnenlands Bestuur dan Menteri Dalam negeri; b. Hoofd van Gewestelijk bestuur, gubernur, residen, Hoofd van Plaatselijk Bestuur, bupati, walikota, wedana,dan pejabat2 pamongpraja lainnya, termasuk tugas dan wewenang yang menurut sesuatu peraturan atau keputusan telah ada atau telah diserahkan kepada sesuatu badan penguasa; dengan berlakunya undang-undang ini beralih kepada menteri agraria.<br />
<br />
Pengaturan peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:<br />
1. Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang pembagian tugas wewenang agrarian; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60<br />
2. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK. XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;<br />
3. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka, tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/ ka/61;<br />
4. Keputusan Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/ Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;<br />
Dengan berlakunya Peraturan ini maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/ 1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/ 5/ Ka; Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/ Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.<br />
5. PMDN NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/ Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut kembali.<br />
6. PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang pemberian Hak atas tanah;<br />
7. Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara;<br />
Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NO. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:<br />
Didalam Pasal 2, disebutkan:<br />
(1) dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten / kota madya<br />
(2) pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah Negara;<br />
(3) dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan mengusai dari Negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain dengan hak pengelolaan.<br />
Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut:<br />
Hak milik ( pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:<br />
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih<br />
2. pemberian hak milik atas atanh non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;<br />
3. pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program: a. transmigrasi; b. redistribusi; c. Konsolidasi; d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic<br />
Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:<br />
a. pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;<br />
b. semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;<br />
Hak Pakai ( Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:<br />
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha;<br />
b. pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;<br />
c. semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;<br />
didalam pasal 6 perubahan hak, kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain;<br />
Kewenangan Kantor Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:<br />
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:<br />
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;<br />
2. pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;<br />
pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.<br />
pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi emberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.<br />
Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai:<br />
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.<br />
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal 5;<br />
Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan<br />
Pasal 12 pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:<br />
a. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya<br />
b. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap<br />
pasal 13, Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:<br />
(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III<br />
(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tamah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan.<br />
<br />
4. KARAKTER SERTIFIKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA<br />
Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat “konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara. Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti kepemilikan bahwa seseorang atau badan hokum memperoleh hak atas suatu bidang tanah.<br />
Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya. Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.<br />
Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 01:37 2 komentar <br />
<br />
<br />
Jumat, 18 September 2009<br />
Pembaharuan hukum agraria di Indonesia: penyelesaian sengketa pertanahan <br />
<br />
<br />
Dr. Boedi Djatmiko HA,SH.Mhum<br />
<br />
1. LATAR BELAKANG<br />
Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali " persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa / konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak tuntas dan sifatnya partial atau sektoral. <br />
Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagrarian / pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial, ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000)<br />
Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi dkk, 2000 : hal XIX ).<br />
Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996: hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah. <br />
Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral. Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat. <br />
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagrarian Nasional. Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62).<br />
Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika tidak dikelola secara hati-hati. Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport beras terbesar didunia ( Lutfi I. Nasution, Wakil Kepala BPN dalam seminar di Batu Malang tanggal 21 mei 2001). <br />
Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang, karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.<br />
2. RUMUSAN PERMASALAHAN<br />
Atas dasar latar belakang keadaan tersebut maka dalam studi ini penulis ingin mengadakan penelitian dengan perumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsepsi dan tujuan politik hukum agraria Indonesia yang terimplementasi dalam Undang No. 5 tahun 1960 dan produk hukum peraturan perundangan yang mengatur keagrarian Nasional kita ?; 2. Bagaimanakah bentuk dan cara penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria ?; 3. Dengan banyak terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia, apakah produk hukum agraria perlu diperbaharui karena sudah tidak memenuhi dinamika masyarakat saat ini ?. <br />
<br />
3. TUJUAN PENELITIAN.<br />
<br />
Dari rumusan permasalahan diatas tujuan yang ingin dicapai dalam studi penelitian ini diharapkan adalah : 1. Bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang perkembangan politik hukum agraria yang ada di Indonesia yang terimplementasi dalam berbagai kebijakan politik dan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah; 2. untuk memperoleh gambaran dan data konflik-konflik agraria yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria yang tertuang dalam berbagai produk hukum dan cara penyelesaiannya; 3. Untuk mendapatkan fakta-fakta dan data perlu tidaknya pembaharuan produk hukum agraria nasional. <br />
4. MANFAAT PENELITIAN. <br />
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan teoritis maupun praktis dan dapat dijadikan bahan masukan atau informasi lanjutan dari penelitian terdahulu tentang Politik Hukum Agraria Indonesia. disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan kajian dalam pengambilan kebijakan pemerintah yang bersifat prepentif maupun represif yang berkaitan dengan penanganan permasalahan / konflik – konflik agraria yang timbul. <br />
<br />
5. TINJAUAN KEPUSTAKAAN.<br />
Tinjauan kepustakaan yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini berdasarkan kerangka dasar teori hukum murni dari Hans Kelsen dimana hukum dikonsepsikan sebagai kaedah atau norma yang tersusun secara Hirarkhis dimana puncaknya disebut sebagai " Grundnorm " ( kaedah dasar ). Kaedah dasar itu sendiri intinya bukan merupakan kaedah hukum positif akan tetapi merupakan hasil pemikiran juridis ( Surjono Sukanto, 1986: 127). Adapun tata susunan hirarkhis kaedah hukum secara umum mulai dari kaedah hukum Individu, abstrak dan akhirnya Konstitusi ( UUD ) akan tetapi bagaimana pun faktor politis, sosioogis dan filosofis mempunyai pengaruh terbentuknya kaedah / norma hukum.<br />
Selanjutnya studi tentang politik hukum agraria ini berangkat dari kerangka pemikiran dikatakan hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing ( Moh. Mahfud, MD :1998 ; hal 7 ). Dalam beberapa literatur ilmu pengetahuan tentang politik hukum ini dimasukkan dalam salah satu obyek studi ilmu hukum ( Satjipto Rahardjo : 1982 : hal 331 ) dan didalam sistim ajaran tentang hukum yang lazim disebut sebagai disiplin hukum cakupanya adalah ilmu hukum, filasat hukum maupun politik hukum yang masing-masing dengan ruang lingkup tertentu. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik Hukum ( Surjono Sukanto dan Sri Mamudji: 1994: hal 5). Dalam konteks ini Politik hukum berhubungan dengan pembentukan hukum ( Rechtsvorming ) dan penemuan hukum ( Rechtsvinding).<br />
Terdapat beberapa difinisi politik hukum, antara lain seperti yang disampaikan oleh Abdul Hakim G. Nusantara bahwa Politik Hukum adalah kebijakan hukum ( Legal Policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara Nasional oleh suatu pemerintahan Negara tertentu ( Abdurrahman, 1989 : 24 ) yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan ketiga pembinaan para penegak hukum ( Moh. Mahfud MD, 1998:9). Berdasarkan cakupan tersebut maka penulis secara ringkas memberikan pengertian dengan tanpa mengurangi substansinya memberikan batasan difinisi Politik hukum agraria adalah Kebijakan pemerintah/ hukum ( Legal Policy ) yang akan dan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak hanya dilihat dari sudut formal (produk-produk hukum) melainkan juga latar belakang dan proses pembuatannya, dimana politik hukum agraria di Indonesia dapat diketahui dari UUD'45 dan GBHN termasuk kebijakan – kebijakan umum yang dikeluarkan pemerintahan yang legitimate. Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan dapat menimbulkan dampak antara lain konflik agraria.<br />
Pengertian agraria yang penulis pergunakan untuk memberikan cakupan pengertian yang lebih luas dari pada pertanahan yang meliputi permukaan Bumi ( tanah ) dan perut bumi beserta kekayaan yang ada di dalamnya. Sehingga cakupan dalam studi dari poltik hukum agraria akan lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan hanya pertanahan.<br />
<br />
6. METODE PENELITIAN.<br />
<br />
Dalam studi penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif-historis melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan dan studi kasus. Tujuannya penelitian melalui metode penelitian Normatif ( Legal research) guna dapat menemukan asas dan dasar filsafat hukum positif atau penemuan hukum positif ( Legal positif ) dan peraturan pelaksana ( Empirical – Regulations ) sekaligus studi historis melalui penelusuran latar belakang dan kebijakan politik yang mendasari terbentuknya produk hukum. Untuk memperoleh hasil yang maksimum maka penelitian ini melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan gejala-gejala yang ada dan studi kasus, untuk memperoleh gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap dengan corak holistik dan memnyajikan informasi yang lebih terfocus. <br />
Adapun bahan dasar yang dipergunakan dibangun melalui penelusuran data kepustakaan bidang hukum yang dikelompokan dalam sumber bahan primer seperti peraturan perundangan , bahan sekunder seperti buku, artikel dan karya ilmiah, sedangkan bahan tertier seperti kamus, almanak maupun buku-buku pegangan dipakai sebagai bahan rujukan untuk menunjang bahan primer dan sekunder. Bahan-bahan ini selajutnya dianalisa dan dideskripsikan guna mendapatkan hasil yang diharapkan.<br />
<br />
<br />
Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 08:57 0 komentar <br />
<br />
<br />
<br />
HGU Perkebunan, Masihkah Relevan? <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
on 11-09-2006 13:05 <br />
Views : 1864 <br />
<br />
Favoured : 45<br />
Usep Setiawan dan Idham Arsyad <br />
<br />
Tidak lama lagi kita akan merayakan Hari Agraria Nasional yang ke-46 pada 24 September. Di momentum bersejarah tersebut, penulis bermaksud merefleksi salah satu sumber ketidakadilan agraria di Tanah Air, yakni keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) bagi perkebunan-perkebunan besar.<br />
<br />
HGU untuk perkebunan-perkebunan besar mulai dikenal di Indonesia seiring dengan ditetapkan dalam UU PA No 5/1960. Asal-muasal hak ini adalah konversi dari hak erfpacht yang dikenal di Barat dan digunakan pada masa kolonial. <br />
Sejarah mencatat bahwa selama penggunaan hak erfpacht ini, kekayaan atas sumber-sumber agraria Indonesia tersedot oleh dan untuk kepentingan pengusaha dan mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi miskin.<br />
<br />
Karenanya tidak mengherankan kalau banyak kalangan mengatakan bahwa sebagian konflik agraria di Indonesia adalah warisan kolonial. Saya kira salah satu jejaknya adalah hak erfpacht ini yang dikonversi mejadi Hak Guna Usaha. Namanya beda, tapi praktiknya sama, yakni memberi jaminan hukum untuk penguasaan tanah skala luas pada pihak asing.<br />
<br />
Dalam perkembangannya, sengketa agraria di tanah-tanah ber-HGU tidak hanya dari tanah-tanah ex erpfacht yang dikonversi, tetapi juga HGU yang terbit karena penetapan pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena politik hukum agraria nasional kita memberi ruang yang disebut hak menguasai negara. <br />
<br />
Modus operasi HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Begitu banyak sengketa agraria disebabkan oleh Hak Guna Usaha. Sampai tahun 2001, kasus di areal perkebunan yang sempat terekam berjumlah 344 kasus. Jumlah ini kita bisa bandingkan dengan aksi re-claiming yang dilakukan petani atau masyarakat adat pascareformasi. <br />
<br />
Data yang ditunjukkan oleh Imam Koeswahyono yang diolah dari data Direktorat Jendral Perkebunan, sampai bulan September 2000, sebanyak 118.830 Ha perkebunan milik negara yang telah di-re-claiming dengan kerugian sekitar 46,5 miliar rupiah, sedang perkebunan swasta 48.051 Ha. <br />
<br />
Merampas dan Menggusur <br />
Tanah-tanah HGU jadi konflik karena sejak penetapannya diawali dengan manipulasi, dan seringkali dengan cara kekerasan. Akibatnya, rakyat kehilangan tanah, dan petani tak bertanah atau berlahan sempit pun semakin meluas. Penetapan lahan untuk areal HGU juga tidak menguntungkan secara ekonomi. Di era otonomi daerah, banyak perkebunan yang sama sekali tidak berkontribusi pada peningkatan PAD, misalnya kasus perkebunan teh PT Pagilaran di Batang, Jawa Tengah. Pajak hasil dan maupun pajak tanahnya justru dinikmati pemerintah Yogyakarta. <br />
<br />
Begitu pun dari segi ekologi sangat merusak lingkungan, karena penggunaan pestisida yang tinggi. Jenis tanaman yang berjangka panjang mengakibatkan kesuburan tanah menjadi hilang. Banyaknya hutan yang dikonversi menjadi areal HGU telah mengakibatkan kebakaran (pembakaran?) hutan yang akhir-akhir ini menghebohkan, bahkan ekspor asapnya hingga ke negeri jiran. <br />
<br />
Karena salah satu agenda penting dari pembaruan agraria adalah penataaan soal penguasaan, peruntukan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, kami merekomendasikan beberapa hal pokok. <br />
<br />
Pertama, HGU yang berasal dari tanah ex erpfacht dihapuskan, dan dijadikan tanah negara dan menjadi objek land reform. Dasarnya adalah bahwa masa HGU ex erpfacht ini sudah habis, karena ketentuan konversi dalam UU PA No 5/1960 disebutkan bahwa ”hak erfpacht untuk perkebunan besar yang ada pada mulainya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha Pasal 28 Ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.” Ini artinya sejak tahun 1980 lalu, HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht sebenarnya harus sudah tidak ada.<br />
<br />
Kedua, HGU yang bukan ex erfpacht dilakukan audit total yang meliputi: (1) produktif/dikelola sendiri secara aktif atau tidak produktif/tidak dikelola sendiri secara aktif. Yang tidak produktif dan tidak dikelola oleh pemiliknya sendiri, diambil alih oleh negara dan dijadikan objek land reform. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa banyak HGU yang ditelantarkan oleh pemiliknya, serta tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara aktif; (2) berdasarkan asal-muasal HGU, yang terbit dengan cara merampas dan menggusur tanah-tanah rakyat, atau ganti rugi tapi tidak sesuai, dikembalikan pada pemilik sebelumnya.<br />
<br />
Ketiga, HGU jangan diterbitkan di atas tanah-tanah yang sudah dikuasai dan digarap oleh rakyat. Fenomena maraknya reclaiming dan okupasi yang dilakukan rakyat atas tanah-tanah perkebunan pascareformasi hendaknya menjadi indikasi perlunya pengakuan secara legal formal atas tanah rakyat tersebut. Legalisasi tanah rakyat hasil reclaiming dan okupasi mesti diupayakan serius.<br />
<br />
Keempat, HGU untuk perkebunan besar hanya untuk usaha bersama dan dalam bentuk koperasi. Perombakan tata produksi dan tata kelola di sektor perkebunan besar mestilah diletakkan dalam kerangka reforma agraria sejati. Keberadaan perkebunan-perkebunan besar mestilah menganut semangat pelibatan rakyat di sekitar dan yang bekerja di dalamnya sebagai sama-sama pemilik atas aset perkebunan tersebut. Pola kemitraan yang adil dan serasi layak dikembangkan.<br />
<br />
Perekat NKRI<br />
Belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (11 April)–lihat kolom penulis di Majalah Hukumonline, edisi 3 Agustus 2006. Perpres ini layak diapresiasi sebagai momentum untuk memperkokoh niat guna memperbaiki kondisi agraria. Perpres itu menggariskan bahwa BPN berada di bawah dan bertanggung-jawab kepada Presiden. <br />
<br />
Cakupan kewenangannya juga kian luas karena kini badan itu melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Pasal 2). Semangat nasionalisme tergurat jelas pada bagian Menimbang (b); “bahwa tanah merupakan perekat NKRI, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional...”. <br />
BPN kini memiliki 21 fungsi, di antaranya melaksanakan reformasi agraria (poin h), pemberdayaan masyarakat (poin m), dan penanganan konflik pertanahan (poin n). <br />
Ketiga tugas/fungsi ini dapat menjadi pintu bagi penataan ulang struktur agraria sebagai problem pokok agraria. <br />
<br />
Kedeputian khusus yang menangani sengketa/konflik pertanahan hendaknya jadi benteng tangguh yang kapabel dan kredibel dalam menghadirkan rasa keadilan di tengah rakyat, termasuk menyelamatkan rakyat korban konflik HGU.<br />
<br />
Kemerdekaan terasa hampa tanpa kedaulatan dan keadilan hakiki di lapangan agraria. Mengkonkretkan makna kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju kemajuan dan kemakmuran bangsa hendaknya menjadi komitmen bersama menyertai HUT Proklamasi sekaligus menjelang Hari Agraria Nasional 2006. Semoga.GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100909811843025327.post-62347474982903717062010-02-28T23:43:00.001-08:002010-02-28T23:43:11.189-08:00PERMASALAHAN SKORSING (VIDE PASAL 67 UU NO.5 TH 1986) DALAM CONTOH KASUS <br />
<br />
Oleh<br />
Gerhat Sudiono, SH<br />
<br />
1. Bahwa Surat Keputusan TUN (beschikking) yang sedang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimohonkan kepada Pengadilan untuk ditunda pelaksanaannya sampai ada putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap hanya apabila terdapat keadaan mendesak yang menyebakkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika Kepututusan TUN yang digugat tetap dilaksanakan dan Keputusan TUN yang digugat tersebut tidak diterbitkan/ tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan (vide Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986). <br />
<br />
Bahwa terhadap ketentuan ini, di dalamnya terikat dengan asas hukum/ adagium hukum : “bahwa Surat Keputusan TUN tetap dianggap sah sampai dapat dibuktikan sebaliknya (rechmatig/ praesumtio justae causa)”, yang memiliki konsekuensi hukum bahwa suatu gugatan dalam sengketa TUN tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Surat Keputusan TUN yang digugat sebelum ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Surat Keputusan TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik/ Algemene Beginselen van Berhoorlijk Besture (vide Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986).<br />
<br />
Atas ketentuan Pasal 67 UU No. 5 TAHUN 1986 tersebut, Hakim Pengadilan TUN diberi kewenangan diskresi untuk menerbitkan “Penetapan” penundaan terhadap Surat Keputusan TUN yang digugat, di mana terhadap kewenangan diskresi tersebut di atas Mahkamah Agung dalam Petunjuk Pelaksanaan Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penundaan Pelaksanaan Surat Keputusan TUN yang digugat telah memberikan kriteria-kriteria kepada Hakim dalam mengabulkan permohonan penundaan Surat Keputusan TUN yang digugat :<br />
<br />
1. Objek sengketa harus merupakan Surat Keputusan TUN yang memang menjadi kompetensi absolute Pengadilan TUN. <br />
2. Penundaan harus diajukan oleh Penggugat, bukan atas prakarsa Hakim.<br />
3. Yang ditunda adalah daya berlakunya Surat Keputusan TUN, maka jika daya berlakunya Surat Keputusan TUN dihentikan, akibat hukumnya seluruh tindakan pelaksanaan Surat Keputusan TUN terhenti karenanya. Atas dasar itu tidak dibolehkan menetapkan penundaan pelaksanaan Surat Keputusan TUN yang digugat dengan hanya berlaku untuk sebagian saja (secara parsial).<br />
4. Perbuatan faktual yang menjadi isi dalam Surat Keputusan TUN itu belum dilaksanakan secara fisik.<br />
5. Penundaan dapat dikabulkan apabila kepentingan Penggugat yang dirugikan tidak dapat atau sulit dipulihkan oleh akibat Surat Keputusan TUN yang digugat terlanjur dilaksanakan. Oleh karenanya tidak setiap permohonan harus dikabulkan.<br />
6. Ada keadaan atau alasan yang sangat mendesak yang menuntut hakim untuk segera mengambil sikap terhadap permohonan penundaan.<br />
7. Sebelum mengabulkan permohnan penundaan, kepentingan Tergugat harus dipertimbangkan, maka Tergugat harus didengar terlebih dahulu mengingat sifatnya yang sangat mendesak itu, kalau perlu dapat dilakukan dengan melalui telepon/ telegram/ teleks/ faksimile.<br />
8. Penundaan yang dimohonkan tidak menyangkut kepentingan umum dalam rangka pembangunan.<br />
9. Penetapan penundaan pelaksanaan Surat Keputusan TUN yang digugat dibuat tersendiri terpisah dari putusan akhir terhadap pokok sengketanya.<br />
10. Penetapan penundaan yang dibuat, daya berlakunya mengikuti sampai dengan putusan pokok sengketanya berkekuatan hukum tetap.<br />
11.Penundaan pelaksanaan Surat Keputusan TUN yang digugat tidak boleh ditetapkan dengan bersyarat selama jangka waktu tertentu.<br />
12. Mengingat kepentingan Penggugat yang dirugikan terhadap pelaksanaan Surat Keputusan TUN yang digugat kemungkinan baru timbul pada waktu proses pemeriksaan di tingkat banding, maka atas dasar permohonan Penggugat, Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat pula menerbitkan penetapan penundaan, yang harus dilihat dan dipertimbangkan secara kasuistis. <br />
<br />
Permasalahan yang kemudian muncul dalam praktek kadangkala berdasarkan fakta hukum yang ada Hakim berpendapat Keputusan TUN yang digugat di Pengadilan jika dikaitkan dengan syarat untuk dikabulkan penundaan pelaksanaannya telah memenuhi ketentuan seperti dimaksud dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986 yakni kepentingan Penggugat sangat dirugikan dan tidak seimbang dibandingkan dengan manfaat yang akan dilindungi jika Keputusan TUN tersebut tetap dilaksanakan dan tidak ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan yang terkait dengan Keputusan TUN yang digugat tersebut, akan tetapi dikaitkan dengan Petunjuk Pelaksanaan Nomor: 1 Tahun 2005 khususnya pada point ke-4 yang mensyaratkan bahwa perbuatan faktual yang menjadi isi dalam Surat Keputusan TUN yang dimohonkan penundaan pelaksanaannya belum dilaksanakan ternyata pada saat diperiksa di Pengadilan sudah dilakukan dan dikarenakan perbuatan faktualnya bersifat terus-menerus (bukan termasuk jenis perbuatan yang pelaksanaannya dilakukan sekali saja dan langsung selesai, seperti perbuatan pembongkaran rumah) prosesnya tetap berjalan sampai dengan tenggang waktu pelaksanaan yang ditetapkan di dalam Keputusan TUN tersebut berakhir (ex. Keputusan TUN berupa pemberian izin usaha pertambangan yang memberikan hak untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan seperti kegiatan eksplorasi dalam jangka waktu tertentu). Di mana notabene hal ini justru mengakibatkan kepentingan Penggugat selaku pemohon penundaan akan semakin sulit dipulihkan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan gugatan Penggugat jika tidak dikabulkan penundaannya dikarenakan kepentingan Penggugat telah tidak mempunyai nilai guna lagi karena terhadap kepentingan tersebut berdasarkan keadaan yang ada pada waktu sengketa telah diputus Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memang sudah tidak mungkin untuk diperoleh, sehingga esensi utama dari suatu Putusan Pengadilan untuk memberikan hak dari orang yang mencari keadilan dalam rangka mempertahankan haknya tidak dapat tercapai.<br />
<br />
<br />
PEMBAHASAN :<br />
<br />
Bahwa syarat utama yang ditentukan oleh Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986 untuk dapat dikeluarkannya Penetapan Penundaan terhadap Keputusan TUN yang menjadi objek gugatan oleh Hakim adalah apabila terdapat keadaan mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan akibat tetap dilaksanakannya Keputuan TUN yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan. <br />
<br />
Jadi berdasarkan hal tersebut di atas, untuk dapat mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan TUN yang sedang digugat, yang harus menjadi pertimbangan Hakim adalah selain Keputusan TUN yang digugat tidak terkait dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan, Hakim juga harus mempertimbangkan apakah dengan tetap dilaksanakannya perbuatan faktual yang ditetapkan dalam Keputusan TUN yang digugat di mana perbuatan faktualnya sudah dilakukan sebelum ada gugatan di Pengadilan akan berakibat kepada Putusan Pengadilan yang tidak dapat memenuhi apa yang menjadi tujuan utama Penggugat dalam mengajukan gugatan pembatalan Keputusan TUN tersebut ketika telah berkekuatan hukum tetap, akibat Hakim tidak mengeluarkan penetapan penundaan pelaksanaan atas Keputusan TUN yang sedang digugat dengan maksud agar segala tindakan hukum yang merupakan tindak lanjut dari Keputusan TUN yang ditunda pelaksanaannya tidak dilaksanakan sebelum ada Penetapan atau Putusan lain dari Pengadilan. <br />
<br />
Dengan demikian Hakim harus dapat membedakan apakah perbuatan faktual yang ditetapkan di dalam Keputusan TUN tersebut merupakan perbuatan yang sifat pelaksanaannya hanya sekali saja dan berakibat hukum selesainya tujuan yang ingin dicapai dari diterbitkannya Keputusan TUN tersebut ataukah perbuatan faktual yang ditetapkan di dalam Keputusan TUN itu merupakan perbuatan yang sifat pelaksanaannya memiliki konsekuesi dilakukan secara terus-menerus sampai dengan tenggang waktu tertentu yang pada akhirnya berakibat hukum selesainya tujuan yang ingin dicapai dari diterbitkannya Keputusan TUN tersebut. Sehingga walaupun Keputusan TUN yang digugat perbuatan faktualnya sudah dilaksanakan, akan tetapi jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sifat pelaksanaannya secara terus-menerus sampai dengan tenggang-waktu tertentu di mana pada saat diperiksa di Pengadilan tenggang-waktu tersebut masih belum berakhir, Hakim sepatutnya mengabulkan permohonan Penggugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat dengan tujuan agar jika diputuskan Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap di kemudian hari terhadap gugatan Penggugat tersebut tujuan yang ingin dicapai oleh Penggugat dengan dibatalkannya Keputusan TUN tersebut dapat dirasakan oleh Penggugat dan tidak merupakan Putusan yang bersifat non-eksekutable dikarenakan apa yang menjadi hak Penggugat di lapangan sudah tidak ada lagi.GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100909811843025327.post-12839752157666498592009-08-21T06:57:00.000-07:002009-08-21T07:10:44.507-07:00PROFIL<span style="font-family: arial;">Salam sejahtera....perkenalkan saya Gerhat Sudiono Nababan, SH, TTL di Sungailiat-Bangka 14 Nopember 1975, profesi sebagai Hakim di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Mahklamah Agung RI dengan NIP. 040 074 008, istri bernama Junita Beatrix Mai,SH (Hakim di Lingkungan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI NIP.040 074 571).<br /></span>GS. Nababan, SHhttp://www.blogger.com/profile/09768138552104690269noreply@blogger.com0