Jumat, 20 Agustus 2010

Artikel Pertanahan

Karakter Hukum Sertipikat Hak

Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.hum
Uraian berikut dibawah ini diawali dengan pertanyaan hukum apakah ada korelasinya antara karakter hukum sertipikat hak dengan status hukum tanah dan akibat hukumnya. Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan dokumen tertulis yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerinah ( badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ) untuk dipergunakan sebagai tanda bukti hak dan alat pembuktian yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Bila mana sertipikat dikatakan sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti hak atas tanah, berarti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang sertipikat tanah menunjukan mereka itu mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu. Ketika suatu sertipikat dikonsepkan sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka sertifikat bukan merupakan alat bukti satu – satunya adanya keberadaan hak kepemilikan atas tanah.
Ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 PP No. 24 tahun 1997, menunjukan konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang dapat dijadikan alas hak ( title) yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum dapat menuntut kepada Negara adanya keberadaan hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki. Secara hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan landasan yuridis guna dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya untuk dapat diterbitkan sertipikat tanda bukti sekaligus alat bukti kepemilikan hak atas tanah.
Pertama, instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang disebut sebagai "hak baru" atas tanah harus dibuktikan dengan "Penetapan pemerintah" yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang apabila hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. Wujud kontret dari penetapan pemerintah ini adalah Surat Keputusan Pemberian hak kepemilikan atas tanah (SK hak milik, SK HGB, dst); dan atau
Kedua, akta otentik PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ) menurut ketentuan hukum termasuk alat bukti kepemilikan hak baru, dimana akte otentik tersebut memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik. ( pasal 23 PP No. 24 tahun 1997)
Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang disebut sebagai hak atas tanah yang "lama" ( pasal 24 PP No. 24 tahun 1997), yang diakui keberadaannya oleh hukum sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas tanah. Selanjutnya instrument yuridis tentang keberadaan alat bukti kepemilikan tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria ( PMNA)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional ( KBPN ) No. 3 tahun 1997. Didalam pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 dan pasal 60 dari PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, beserta penjelasan pasalnya disebutkan alat bukti kepemilikan lama yakni: grosse/salinan akte eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja, surat tanda bukti hak milik yang dikeluarka berdasarkan peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah memenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, petok D / girik, pipil, ketitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, akta pemindahan hak dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala Adat/desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28 tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, risalah lelang, surat penunjukan pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala kantor PBB dengan disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud dalam pasal II, VI, dan VII ketentuan konversi. Alat-alat bukti kepemilikan hak ini pada hakekatnya merupakan representasi dari pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang dipunyai oleh warga Negara Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara. Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouse " property is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do without it". Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak melepaskan haknya ( peralihan hak). Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke mengenai hak milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural right and that the purpose of Government is to protect and preserve natural property right. Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( UUDNRI 1945). Implementasi dari jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah ( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam UUPA.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas,sebagai konsekuensi yuridisnya maka diatur bahwa terhadap tanah hak yang berasal dari hak lama ( adat ) oleh hukum dilakukan perubahan hukum berdasarkan prinsip pengakuan Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah rakyat karena hukum dikonversi sebagai hak-hak yang baru dan jenis-jenis hak atas tanah yang diciptakan oleh UUPA. Pengakuan Negara tersebut memunculkan model sertipikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat " Deklaratif" ( declaratoir). Disamping model pengakuan Negara terhadap hak atas tanah rakyat, Negara mengakomodir adanya hak atas tanah yang muncul yang berasal dari status tanah-tanah diluar tanah hak yang dikuasai rakyat ( tanah Negara ). Hak atas tanah ini terbit berdasarkan pada tindakan pemerintah yang berupa "penetapan" atau " keputusan" hak memunculkan model sertifikat yang berkarakter yuridis yang bersifat "Konstitutif"( Konstitutief).
Dalam ajaran hukum bahwa yang disebut sebagai suatu ketetapan atau keputusan yang bersifat deklaratif yakni suatu ketetapan atau keputusan yang menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum yang sebetulnya memang telah ada sebelumnya. Utrecht menyebutkan bahwa suatu ketetapan / keputusan deklaratif merupakan ketetapan yang hanya menyatakan yang bersangkutan dapat diberikan haknya karena termasuk golongan ketetapan yang menyatakan hukum ( rechtsvastellende beschikking), sedang yang disebut sebagai ketetapan Konstitutif adalah ketetapan membuat hukum baru ( rechtscheppend). Menurut P. de Haan cs, " Bestuursrecht in de sociale rechtsstaat" halaman 30, yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon terdapat pengelompokan Beschikking, khusus yang disebut sebagai keputusan deklaratur maupun konstitutif (Rechtsvastellend en rechtsscheppend ) diuraikan bahwa Pada keputusan Tata Usaha Negara deklaratif hubungan hukum pada dasarnya sudah ada. Contoh: akte kelahiran, hak milik atas tanah eks hukum adat. Relevansi praktis dari pembedaan ini berkaitan dengan alat bukti. Keputusan tata usaha Negara deklaratif bukanlah alat bukti mutlak. Adanya hubungan hukum masih mungkin dapat dibuktikan dengan alat bukti lain. Pada keputusan Tata Usaha Negara konstitutif, adanya keputusan tata usaha Negara merupakan syarat mutlak lahirnya hubungan hukum. Contoh: sertifikat HGB, SK pengangkatan sebagai pegawai negeri dan lain-lain; berbeda dengan keputusan tata usaha Negara deklaratif, dalam keputusan tata usaha Negara konstitutif merupakan alat bukti mutlak. Dengan kata lain, tidak ada hubungan hukum tanpa adanya keputusan tata usaha Negara yang sifatnya konstitutif.
Ajaran hukum tersebut selaras dengan konsep hukum tanah yang pada prinsipnya yang diatur dalam UUPA bahwa hak kepemilikan atas tanah tercipta atau lahir dapat berasal dari:
1. Berdasarkan pada konsep pengakuan adanya keberadaan hak kepemilikan yang telah ada sebelum UUPA yang dalam hal ini masuk dalam kelompok tanah hak barat yang disebut sebagai tanah yang pernah " terdaftar" dan kelompok yang belum pernah terdaftar yakni seperti tanah hak masyarakat ( adat ) yang diakui tanah milik adat dan;
2. Hak kepemilikan atas tanah yang lahir atau diperoleh berdasarkan ketentuan hukum ( undang-undang) yang berupa Penetapan Pemerintah.
Kedua kelompok ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda terhadap pengaturan hukum ketata usahaan pendaftaran dan alat bukti hak atas tanah, serta akibat hukum yang ditimbulkan bila terjadi sengketa hak kepemilikan atas tanahnya.
Pertama, Hak kepemilikan atas tanah yang lahir karena Penetapan Pemerintah ( istilah lain dari keputusan pemberian hak ) sesuai dengan ajaran ilmu hukum dan sebagaimana diatur dalam ketentuan UUPA maupun peraturan pelaksanaannya dilahirkan berdasarkan pada suatu tindakan atau perbuatan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berupa keputusan pemberian hak milik. Dalam konteks ini hubungan hukum antara subyek dan obyek secara yuridis belum ada. Hubungan yang terjadi antara subyek dan obyek hanya sekedar hubungan penguasaan secara fisik ( possession ). Secara hukum baru ada setelah adanya Keputusan Penetapan Hak Kepemilikan atas tanah dan selanjutnya berdasarkan keputusan atau ketetapan hak inilah yang menjadi dasar alas hak pendaftaran hak dan terbitnya sertifikat hak kepemilikan atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat Konstitutif. Ciri khas dari model ketetapan atau keputusan pemberian atas tanah dan yang melahirkan sertifikat yang bersifat konstitutif berasal dari obyek tanah yang berstatus tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau "tanah Negara".
Pengaturan lebih lanjut terhadap keputusan pemberian hak atas tanah yang berstatus tanah negara ini dapat terbaca dalam beberapa peraturan perundangan antara lain: Keppres No. 32 tahun 1979 tentang Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, Peraturan Menteri Dalam Negeri ( PMDN) No. 5 tahun 1973, Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, yo. PMDN No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Pemberian Hak Atas Tanah. Peraturan ini dicabut oleh PMNA /KBPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yo. PMNA/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Keseluruhan bentuk atau macam sebutan tanah-tanah negara merupakan obyek dari keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konstitutif, dimana untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut diperlukan suatu permohonan kepada negara dan apabila persyaratan dianggap telah memenuhi dan permohonan dikabulkan maka Badan atau Pejabat Tata usaha negara yang berwenang untuk itu melakukan tindakan hukum berupa menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah kepada pemohon. Dengan adanya Keputusan tersebut muncul hubungan hukum antara obyek ( tanah negara ) dengan subyek yaitu seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan hak atas tanah negara tersebut dan sejak saat dikeluarkan keputusan tersebut maka terbit Hak kepemilikan Atas Tanah yang bersangkutan. Dengan catatan bahwa yang bersangkutan memenuhi segala persayaratan yang ditentukan didalam keputusan tersebut. Apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka hak tersebut menjadi " batal " dengan sendirinya dan tanahnya kembali dikuasai oleh negara atau menjadi tanah negara kembali. Dengan perkataan lain bahwa Karakter khas yang muncul dari tanah – tanah yang berstatus tanah negara yang oleh negara yang diberikan sesuatu hak atas tanah adalah:
1. sebelum terbit sertifikat hak atas tanah yang dipergunakan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah, akan didahului dengan adanya tindakan hukum dari pemerintah yang dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Badan atau Pejabat Tata usaha Negara yang diwujudkan dalam Keputusan berbentuk " Surat Keputusan" ( SK) pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan haknya;
2. didalam ketetapan yang berupa suatu keputusan pemberian hak tersebut selalu ada persyaratan-persyaratan baik berupa persyaratan umum maupun khusus maupun kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, dengan akibat hukum " batal" dengan sendirinya apabila persyaratan dan atau kewajiban tidak dipenuhi oleh mereka yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan.
Gambar 4. Skema pendaftaran Sertifikat berkarakter yuridis bersifat Konstitutif.


Kedua, hak kepemilikan atas tanah yang telah ada baik hak barat maupun hak adat ( terdaftar maupun yang belum terdaftar) diakui keberadaannya yang oleh UUPA diubah kedalam bentuk baru ( konversi ) jenis-jenis hak ciptaan UUPA. Pengakuan negara dan perubahan kepada hak baru dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Pada prinsipnya pengakuan negara terhadap keberadaan hak kepemilikan atas tanah yang ada dituangkan kedalam bentuk penegasan, dan Sesuai dengan ajaran hukum penegasan semacam ini disebut sebagai suatu keputusan yang dalam wujud konkretnya berupa keputusan penegasan (deklaratif). Dalam model keputusan deklaratif ini syarat adanya keputusan Tata Usaha Negara bukan merupakan syarat mutlak adanya hubungan hukum antara subyek dan obyeknya pada dasarnya telah ada. Hubungan hukum antara subyek dan obyeknya dapat dibuktikan dengan alat bukti keperdataan tertulis yang lain ( PP No. 24 tahun 1997 yo. PMNA/ KBPN No. 3 Tahun 1997). Ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi UUPA, PMA No. 2 tahun 1960 tentang Pelaksana beberapa ketentuan Undang Undang Pokok Agraria Yo. PMA No. 5 tahun 1960 dan PMPA No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Hak-Hak Indonesia, merupakan bentuk adanya pengakuan oleh negara terhadap hak-hak rakyat baik hak kepemilikan yang diatur menurut hukum perdata barat ( BW) maupun hak-hak tanah adat.
Namun demikian ada karakter hukum yang khas dari ketentuan penegasan konversi hak kepemilikan atas tanah dalam UUPA. Hukum mengatur adanya prinsip-prinsip "Nasionalitas" yang wajib hukumnya harus dipenuhi bagi pemegang hak atas tanah agar dapat memperoleh pengakuan dan penegasan hak atas tanahnya. Maksudnya adalah pengakuan penegasan terhadap hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah antara pemegang hak dengan obyeknya diakui oleh negara syaratnya adalah Warga negara Indonesia. Konsekuensi hukum bilamana syarat tersebut tidak dipenuhi maka hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah diubah (diturunkan) kepada hak jenis lain dan dalam jangka waktu tertentu dicabut oleh negara, sehingga berdasarkan ketentuan hukum ( UUPA) status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara ( tanah negara). Untuk hak atas tanah yang berasal dari bekas hak barat ( pasal I ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA): Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yakni harus Warganegara Indonesia sejak 24 september 1960. berdasarkan ketentuan pembuktian kewarganegaraan diberikan waktu 6 (enam ) bulan (pasal 2 PMA No. 2 tahun 1960). Pemegang hak eigendom yang dapat membuktikan kewarga negaraannya maka oleh KKPT ( Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ) saat ini Kepala Kantor Pertanahan, eigendomnya dikonversi menjadi hak milik dan tanda bukti kepemilikan hak tersebut dicatat baik pada asli akta maupun didalam salinan aktanya, demikian disebutkan dalam pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960. Pencatatan konversi oleh KKPT ini dilaksanakan dengan membubuhi keterangan dengan kata-kata " Berdasarkan pasal dan ayat ketentuan konversi Undang-Undang Pokok Agraria dikonversi menjadi: Hak ( isi: milik, guna bangunan, Guna usaha atau pakai) dengan jangka waktu" ( pasal 18 PMA No. 2 tahun 1960). Akibat hukumnya apabila pemegang hak tidak melaporkan status hukum kewarganegaraannya dalam waktu 6 bulan atau tidak dapat membuktikan kepemilikannya maka menurut hukum hak eigendomnya berubah menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun. Dan setelah 20 tahun jika tidak diperbaharui haknya hapus menjadi tanah negara berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1979 yo. PMDN No. 3 tahun 1979. Untuk pengakuan negara terhadap tanah-tanah Adat diatur dalam pasal II dan pasal VII Ketentuan konversi UUPA. Dalam pasal II Ketentuan Konversi berisi hak – hak atas tanah-tanah adat yang memberikan wewenang yang mirip dengan hak milik pasal 21 UUPA dikonversi menjadi hak milik, bilamana memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 UUPA yaitu: hak Agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landrijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, demikian juga tanah pekulen, sanggan, gogolan yang sifatnya tetap dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri agraria, sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 UUPA. Mengingat adanya perbedaan karakter tersebut maka sebagai konsekuensi hukumnya akan berbeda pula pada saat terjadi pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanahnya yang menjadi alas atau dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut.
Skema pendaftaran Sertipikat yang berkarakter yuridis bersifat Deklaratif.








TINJAUAN PERSOALAN HUKUM PEMILIKAN TANAH (BEKAS ) EIGENDOM
(Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.Hum)


PENDAHULUAN
Merdeka sudah 63 tahun, namun persoalan tanah yang berkaitan hak kepemilikan tanah dengan title hak barat seperti eigendom, opstal, erfpacht dll, masih juga menimbulkan persoalan-persoalan baru dimasyarakat. Padahal sejak tahun 1960 hak kepemilikan atas tanah tersebut ada yang telah dihapus atau dikonversi dalam menjadi hak-hak pemilikan yang baru. Dihapus karena hukum menentukan demikian, misalnya hak tersebut terkena UU No. 1 tahun 1958, terkena nasionalisasi dst. UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau biasa disingkat UUPA ( undang-undang pokok agraria ) merupakan pegangan dan pedoman baru pengaturan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah setelah kita merdeka, dan sekaligus mencabut ketentuan hukum sebelumnya yang mengatur tentang hak-hak barat tersebut ( buku II BW yang berkaitan dengan tanah ). Alasan politisnya sangat ekploitatif- feodalisme dan diskriminatif, tidak sesuai dengan dasar falsafah dan kemerdekaan Indonesia. Filosofi konversi hak oleh Negara adalah bentuk pengakuan Negara atas hak keperdataan warga Negara dan kedua, pengaturan kembali hukum hak atas tanah yang lama yang bersifat ekploitatif- diskriminatif, disesuaikan dengan dasar-dasar hukum Indonesia yang berlandaskan pada hukum (adat).
Dasar hukum pengaturan tanah bekas hak barat diatur dalam UUPA, beserta beberapa peraturan pelaksanaannya: PMA ( Peraturan Menteri Agraria )No. 2 tahun 1960, PMA No. 13 tahun 1961, Keppres 32 tahun 1979 jo. PMDN No. 3 tahun 1979, PMDN No. 6 tahun 1972, PMDN No. 5 tahun 1973 dan terakhir PMNA No. 9 tahun 1999.
Isu hukum yang hendak disampaikan disini adalah khusus tentang prinsip dasar pengaturan pemilikan tanah ( bekas ) hak eigendom sejak terbitnya UUPA tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hal tersebut.
Hak Eigendom
Hak Eigendom atau lengkapnya disebut " eigendom recht" atau "right of property" dapat diterjemahkan sebagai " hakmilik ", diatur dalam buku II BW ( burgerlijke wetboek) atau KUHPerd (Kitab Undang-Undang HUkum Perdata ). Hak eigendom ini dikontruksikan sebagai hak kepemilikan atas tanah yang tertinggi diantara hak-hak kepemilikan yang lain. Hak eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas tanah yang terpenuh, tertinggi yang dapat dipunyai oleh seseorang. Terpenuh karena penguasaan hak atas tanah tersebut bisa berlangsung selamanya, dapat diteruskan atau diwariskan kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas atas tanah ini tidak dibatasi jangka waktu, tidak seperti jenis hak atas tanah yang lain, misalnya hak erfpacht ( usaha ) atau hak opstal ( bangunan ). ( lihat pasal 570 BW).
Pada tahun 1960 semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom bukan dihapus namun di ubah atau dikonversi " convertion", conversie" menjadi jenis-jenis hak atas tanah tertentu, dengan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, hak eigendom menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak guna bangunan. Pada tahun 1980 Hak atas tanah (bekas ) barat yang telah dikonversi yang mempunyai jangka waktu serta yang tidak memenuhi syarat hapus, dan tenahnya dikuasai oleh Negara " tanah Negara". Bagi mereka bekas pemegang hak atas tanah diberi kesempatan untuk dapat mengajukan permohonan hak atas tanah bekas haknya sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan umum atau jika tidak diduduki oleh masyarakat pada umumnya.
Pengertian konversi ini dalam hukum pada asasnya adalah merupakan perubahan atau penyesuaian atau bisa dikatakan penggantian yang bertujuan untuk penyeragaman atau unifikasi hukum. Dengan kata lain konversi ini bertujuan mengadakan konstruksi ulang pengaturan hak atas tanah yang diatur oleh hukum sebelumnya diubah disesuaikan dengan hukum yang baru. Hak eigendom yang sebelumnya diatur oleh hukum perdata barat atau BW ( Burgelijke van Wetboek ) termasuk disini hak atas tanah adat, sejak berlakunya UUPA, diubah atau disesuaikan dengan undang-undang ini. Berdasarkan hukum konversi hak atas tanah barat dan adat menjadi suatu hak atas tanah yang baru terjadi karena hukum ( van rechtwege). Konversi karena hukum baru akan terjadi apabila memenuhi suatu persyaratan tertentu dan dilakukan dengan suatu tindakan hukum berupa suatu penetapan keputusan dari pejabat yang berwenang yang berupa pernyataan penegasan ( deklaratur ) pernyataan penegasan ini untuk status hukum hak atas tanah dan jenisnya dan terpenuhinya syarat bagi pemegang haknya. Misalnya hak eigendom dikonversi menjadi hak milik. Artinya syarat untuk konversi eigendom menjadi hak milik karena persyaratan subyek dan obyeknya terpenuhi.
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam konversi hak eigendom berkaitan antara hubungan hukum antara subyek dan obyek hukum yang berakibat pada perubahan status hukum hak atas tanah:
Pertama, hak eigendom dikonversi menurut hukum menjadi hak milik, apabila subyek pemegang haknya adalah warga Negara Indonesia; Kedua, hak eigendom akan dikonversi menjadi hak guna bangunan apabila pemegang haknya tidak memenuhi syarat untuk dapat memperoleh hak milikmaka hak eigendom akan dikonversi menjadi hak guna bangunan atau jenis hak yang lainnya; Ketiga, hak eigendom menjadi tanah yang dikuasai Negara apabila pemegang haknya dalam jangka waktu tertentu tidak mendaftarkan hak konversinya kepada pejabat yang berwenang.
PENGATURAN HAK EIGENDOM
Prinsip dasar yang harus dipegang oleh pemegang hak eigendom sejak tanggal 24 september 1960 (berlakunya UU No. 5 tahun 1960 ) hukumnya wajib mendaftarkan hak konversinya, hal ini merupakan perintah undang-undang. ( lihat pasal I ketentuan konversi UUPA ). Apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang ( lihat pasal 21 UUPA) maka berdasarkan ketentuan konversi sebagaimana yang diatur dalam pasal I konversi UUPA sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali yang mempunyainya tidak memenuhi syarat
Syarat yang harus dipenuhi bagi para bekas pemegang hak eigendom yang ingin dikonversi menjadi hak milik ( menurut UUPA ). Pada pokoknya secara hukum mereka ini pada tanggal 24 september 1960, berstatus warga Negara indonesia dan mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa akta asli ( minuut ) atau salinan ( grosse ) eigendom ( lihat PMA No. 2 tahun 1960 ). Luasan tanahnya tidak melebihi batas maksimum dan atau tidak absentee ( gontai ) ( lihat UU No. 56 tahun 1960 jo. PP No. 24 tahun 1961 ). Selanjutnya jangka waktu pendaftarannya tidak melebihi batas waktu yang ditentukan yakni 1 tahun sejak 24 september 1960. Bilamana syarat tersebut dipenuhi maka pejabat administrasi yang berwenang dalam hal ini Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( KKPT ) pada waktu itu ( BPN setempat saat ini ) akan mencatat / mendaftar penegasan konversi hak eigendom tersebut dalam buku tanah dan dikeluarkan sertifikat hak milik atas nama pemegang bekas hak eigendom tersebut. Tata cara mekanisme pencatatan penegasan konversi pendaftaran ini lebih rinci diatur dalam PP ( peraturan Pemerintah ) No. 10 tahun 1961 yang selanjutnya diubah dan diganti dengan PP No. 24 tahun 1997, sedang aturan pelaksanaannya diatur dalam PMNA ( Peraturan Menteri Negara Agraria ) /KBPN ( Kepala Badan Pertanahan Nasional ) No. 3 tahun 1997.
Namun sebaliknya apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka hak eigendom tersebut demi hukum berubah ( konversi ) menjadi hak guna bangunan yang berlangsung selama 20 tahun. Selanjutnya hak tersebut hapus, sedangkan tanah tersebut berubah status hukumnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah Negara ( lihat Keppres ( keputusan presidan ) No. 32 tahun 1979). Dalam posisi demikian hubungan hukum antara pemilik ( selanjutnya disebut sebagai bekas pemegang hak ) dengan tanahnya terputus. Namun demikian bekas pemegang hak masih mempunyai hubungan keperdataan dengan benda-benda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut.
Pertanyaan hukumnya adalah apakah bekas pemegang hak masih dimungkin memperoleh hak atas tanah yang dikuasai Negara tersebut?
Prinsip dasar, pertama, Hukum mengatur bahwa sejak tahun 1980 seluruh hak-hak barat sudah tidak ada lagi ( karena konversi ) atau hapus yang ada adalah tanah Negara bekas hak barat. Berdasarkan ketentuan hukum, ada 3 prioritas yang wajib diperhatikan: pertama, kepentingan umum; kedua, kepentingan bekas pemegang hak, dan; ketiga mereka yang penduduki / memanfaatkan tanah dengan etiket baik dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan bekas pemegang hak. Kedua, adanya kompensasi terhadap benda2 diatas tanah Negara bekas hak barat tersebut. Artinya siapapun yang menginginkan hak atas tanah Negara tersebut harus memberikan konpensasi kepada bekas pemegang haknya
Pertama, prioritasnya ada pada Negara adalah dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum atau Negara. Kepentingan umum atau Negara ini perlu penjabaran lebih lanjut. Apakah criteria kepentingan umum atau Negara. Apabila dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan Negara / umum maka tertutuplah kemungkinan bekas pemegang hak dan masyarakat yang menduduki untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Namun demikian Negara akan memberikan kompensasi baik bekas pemegang haknya maupun masyarakat yang pernah menguasai atau mendudukinya.
Kedua, Apabila tanah Negara tersebut tidak dipergunakankan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan tidak ada pendudukan oleh masyarakat maka bekas pemegang hak mendapatkan prioritas memperoleh kembali dengan jalan mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut. Dengan catatan apabila di atas tanah tersebut ada pendudukan masyarakat maka harus ada kompensasinya untuk mereka.
Ketiga, prioritas diberikan kepada masyarakat yang menguasai atau menduduki tanah Negara bekas hak barat tersebut. Apabila bekas hak barat tersebut berupa pekarangan atau lahan tanpa bangunan maka tidak ada kewajiban bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak.
Persoalan hukum yang sering timbul adalah tuntutan mereka menguasai hak eigendom tersebut sebelum tahun 1960 yang diperoleh dari peralihan hak misalnya jual beli, hibah, warisan dll. Disini yang harus diperhatikan adalah apakah tanah eigendom tersebut terkena undang-undang No. 1 tahun 1958, atau terkena undang-undang nasionalisasi dan apakah proses peralihan haknya pada waktu itu sudah memenuhi persyaratan perijinan yang harus dipenuhi.
KESIMPULAN
Tanah – tanah Negara ( bekas) eigendom pada prinsipnya dapat dimohonkan sesuatu hak atas tanah oleh siapapun juga, sepanjang tanah tersebut tidak dipergunakan atau dimanfaatkan untuk Negara atau kepentingan umum. Permohonan hak atas tanah Negara bekas eigendom tidak didasarkan pada riwayat kepemilikan seperti warisan hanya petunjuk bukan satu-satunya pedoman dalam rangka pengajuan. Hubungan hukum hak keperdataan bekas pemegang hak hanyalah berkaitan dengan benda-benda yang ada diatas tanah bukan tanahnya. Status tanahnya adalah " tanah Negara" ( tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ).
Jogya, 25 april 2009
Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.hum.





Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 03:49 0 komentar
Label: TANAH
Sabtu, 09 Agustus 2008
TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN HAKNYA
TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN HAKNYA
Boedi djatmiko.
1. PENDAHULUAN
Sering kali kita mendengar sebidang tanah disebut sebagai tanah Negara jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan tanah Negara, kenapa disebut demikian, apakah ada perbedaan dengan tanah jenis yang lain, dimana kita menemukan tanah Negara, dimana diatur mengenai tanah Negara ini, dan siapa yang berwenang mengaturnya. Untuk apa tanah Negara apakah kita bisa memiliki tanah Negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka sesuai dengan isu yang hendak dikemukakan yakni tanah Negara dan wewenang pemberian haknya diawali dari pengertian atau makna, selanjutnya sejarah dan ketentuan hukum wewenang pemberian haknya.

2. KONSEP TANAH NEGARA
Sebutan untuk “ Tanah” ( land ) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah tubuh bumi ( lihat Peter butt, 2001). Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ permukaan bumi” ( lihat pasal 4 ayat 1UUPA).
“Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atu dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “ possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “ Ownership” dalam pengertian juridis maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu. Bentuk lain bisa juga bahwa tanah tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin yang berhak “ okupasi”. Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada penguasaan secara pisik atau factual tanpa diikuti hak ( right) dalam arti sah secara hukum. “tanah Negara” diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimana Indonesia sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Berasal dari latar belakang system ketatanegara yang berbentuk absolute / monarchi, ( system feodalisme). Tanah dalam wilayah kekuasaan adalah tanah milik Raja / ratu sebagai pemilik. Wilayah kekuasaan cakupannya termasuk daerah jajahan - Indonesia bagian dari wilayah kerajaan Belanda - dan disisi yang lain rakyat yang berada diwilayah tersebut berposisi sebagai penggarap atau penyewa tanah (lihat pula Curzon, 1989). Konsekuensi logis dari model hubungan antara Raja sebagai pemilik dan rakyat sebagai penyewa dikenal sebagai system kepemilikan tanah yang disebut sebagai dotrin “ land tenure”.
Dalam tataran politik hukum tanah pada waktu itu tanah Negara adalah tanah milik Negara ( Raja/Ratu) diterapkan di Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “ agrarisch besluit” yang diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 ( S. 1870-118).
Dalam pasal 1, disebutkan:
“ behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”.
( dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein ( milik ) Negara). Ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan “ Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum ( algemene Domein Verklaring ). Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus ( speciale Domein Verklaring ) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan dalam S. 1875 – 94f, S. 1877 – 55 dan S. 1888 – 55. Rumusannya sebagai berikut:
“ alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement” ( engelbrecht, 1960, halaman 2051).
“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.

Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara /pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain2nya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah. ( lihat budi harsono, h. 43). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam pasal 1 Agrarisch besluit ini paralel dengan yang diatur dalam BW. Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW, mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya.

Atas dasar pasal 1 Agrarisch besluit ini maka dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni:
Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “ vrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam ketentuan hukum barat (BW) termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada hukum adat setempat. Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya ternyata pemerintah Hindia Belanda juga berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan menjadi dua:1. Tanah – tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hak-hak milik rakyat oleh suatu Instansi / departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan; 2. Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan departemen dalam negeri ( Binnen van bestuur)

Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “ onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka ( hak ulayat masyarakat hokum adat).
Setelah kemerdekaan, sebelum terbitnya UU. No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA, pengertian Tanah Negara, ditemukan dalam PP No. 8 tahun 1953 ( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam PP tersebut Tanah Negara dimaknai sebagai “ tanah yang dikuasai penuh oleh negara”. Substansi dari pengertian tanah Negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut apakah hak barat maupun hak adat ( vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (lihat, penjelasan umum II (2) UUPA), artinya negara di kontruksikan negara bukan pemilik tanah, Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang oleh rakyat: a. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.” Substansi tanah Negara setelah UUPA, didalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa pengertian tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.
Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya:
1. Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;
2. Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.

3. WEWENANG PEMBERIAN HAK
Pada prinsipnya karena status tanah merupakan tanah Negara maka baik pada masa pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan RI, wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Negara, jika masa pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh gubernur jenderal, setelah merdeka wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Menteri selaku pejabat Negara yang mendapatkan wewenang pendelegasian dari Presiden. Dan selanjutnya menteri atau pejabat yang memperoleh delegasi dari presidan melimpahkan tugas dan wewenang tersebut kepada pejabat jajaran yang ada dibawahnya.
Didalam UU No. 7 tahun 1958, tentang peralihan tugas dan wewenang agraria, adalah merupakan peraturan perundangan awal kemerdekaan yang mengatur pelimpahan wewenang kementerian agraria. Di dalamnya disebutkan : Tugas dan wewenang yang menurut peraturan2 undang-undang dan ketentuan2 tata usaha yang tercantum dalam daftar lampiran dari undang2 ini diberikan kepada: a. Gubernur jenderal, direktur van Binnenlands Bestuur dan Menteri Dalam negeri; b. Hoofd van Gewestelijk bestuur, gubernur, residen, Hoofd van Plaatselijk Bestuur, bupati, walikota, wedana,dan pejabat2 pamongpraja lainnya, termasuk tugas dan wewenang yang menurut sesuatu peraturan atau keputusan telah ada atau telah diserahkan kepada sesuatu badan penguasa; dengan berlakunya undang-undang ini beralih kepada menteri agraria.

Pengaturan peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang pembagian tugas wewenang agrarian; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60
2. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK. XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;
3. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka, tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/ ka/61;
4. Keputusan Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/ Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;
Dengan berlakunya Peraturan ini maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/ 1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/ 5/ Ka; Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/ Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.
5. PMDN NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/ Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut kembali.
6. PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang pemberian Hak atas tanah;
7. Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara;
Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NO. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:
Didalam Pasal 2, disebutkan:
(1) dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten / kota madya
(2) pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah Negara;
(3) dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan mengusai dari Negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain dengan hak pengelolaan.
Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut:
Hak milik ( pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih
2. pemberian hak milik atas atanh non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
3. pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program: a. transmigrasi; b. redistribusi; c. Konsolidasi; d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic
Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;
b. semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;
Hak Pakai ( Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha;
b. pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
c. semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;
didalam pasal 6 perubahan hak, kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain;
Kewenangan Kantor Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
2. pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;
pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.
pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi emberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.
Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal 5;
Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan
Pasal 12 pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
b. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
pasal 13, Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:
(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III
(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tamah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan.

4. KARAKTER SERTIFIKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA
Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat “konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara. Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti kepemilikan bahwa seseorang atau badan hokum memperoleh hak atas suatu bidang tanah.
Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya. Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.
Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 01:37 2 komentar


Jumat, 18 September 2009
Pembaharuan hukum agraria di Indonesia: penyelesaian sengketa pertanahan


Dr. Boedi Djatmiko HA,SH.Mhum

1. LATAR BELAKANG
Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali " persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa / konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak tuntas dan sifatnya partial atau sektoral.
Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagrarian / pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial, ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000)
Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi dkk, 2000 : hal XIX ).
Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996: hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah.
Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral. Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat.
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagrarian Nasional. Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62).
Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika tidak dikelola secara hati-hati. Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport beras terbesar didunia ( Lutfi I. Nasution, Wakil Kepala BPN dalam seminar di Batu Malang tanggal 21 mei 2001).
Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang, karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.
2. RUMUSAN PERMASALAHAN
Atas dasar latar belakang keadaan tersebut maka dalam studi ini penulis ingin mengadakan penelitian dengan perumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsepsi dan tujuan politik hukum agraria Indonesia yang terimplementasi dalam Undang No. 5 tahun 1960 dan produk hukum peraturan perundangan yang mengatur keagrarian Nasional kita ?; 2. Bagaimanakah bentuk dan cara penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria ?; 3. Dengan banyak terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia, apakah produk hukum agraria perlu diperbaharui karena sudah tidak memenuhi dinamika masyarakat saat ini ?.

3. TUJUAN PENELITIAN.

Dari rumusan permasalahan diatas tujuan yang ingin dicapai dalam studi penelitian ini diharapkan adalah : 1. Bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang perkembangan politik hukum agraria yang ada di Indonesia yang terimplementasi dalam berbagai kebijakan politik dan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah; 2. untuk memperoleh gambaran dan data konflik-konflik agraria yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria yang tertuang dalam berbagai produk hukum dan cara penyelesaiannya; 3. Untuk mendapatkan fakta-fakta dan data perlu tidaknya pembaharuan produk hukum agraria nasional.
4. MANFAAT PENELITIAN.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan teoritis maupun praktis dan dapat dijadikan bahan masukan atau informasi lanjutan dari penelitian terdahulu tentang Politik Hukum Agraria Indonesia. disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan kajian dalam pengambilan kebijakan pemerintah yang bersifat prepentif maupun represif yang berkaitan dengan penanganan permasalahan / konflik – konflik agraria yang timbul.

5. TINJAUAN KEPUSTAKAAN.
Tinjauan kepustakaan yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini berdasarkan kerangka dasar teori hukum murni dari Hans Kelsen dimana hukum dikonsepsikan sebagai kaedah atau norma yang tersusun secara Hirarkhis dimana puncaknya disebut sebagai " Grundnorm " ( kaedah dasar ). Kaedah dasar itu sendiri intinya bukan merupakan kaedah hukum positif akan tetapi merupakan hasil pemikiran juridis ( Surjono Sukanto, 1986: 127). Adapun tata susunan hirarkhis kaedah hukum secara umum mulai dari kaedah hukum Individu, abstrak dan akhirnya Konstitusi ( UUD ) akan tetapi bagaimana pun faktor politis, sosioogis dan filosofis mempunyai pengaruh terbentuknya kaedah / norma hukum.
Selanjutnya studi tentang politik hukum agraria ini berangkat dari kerangka pemikiran dikatakan hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing ( Moh. Mahfud, MD :1998 ; hal 7 ). Dalam beberapa literatur ilmu pengetahuan tentang politik hukum ini dimasukkan dalam salah satu obyek studi ilmu hukum ( Satjipto Rahardjo : 1982 : hal 331 ) dan didalam sistim ajaran tentang hukum yang lazim disebut sebagai disiplin hukum cakupanya adalah ilmu hukum, filasat hukum maupun politik hukum yang masing-masing dengan ruang lingkup tertentu. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik Hukum ( Surjono Sukanto dan Sri Mamudji: 1994: hal 5). Dalam konteks ini Politik hukum berhubungan dengan pembentukan hukum ( Rechtsvorming ) dan penemuan hukum ( Rechtsvinding).
Terdapat beberapa difinisi politik hukum, antara lain seperti yang disampaikan oleh Abdul Hakim G. Nusantara bahwa Politik Hukum adalah kebijakan hukum ( Legal Policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara Nasional oleh suatu pemerintahan Negara tertentu ( Abdurrahman, 1989 : 24 ) yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan ketiga pembinaan para penegak hukum ( Moh. Mahfud MD, 1998:9). Berdasarkan cakupan tersebut maka penulis secara ringkas memberikan pengertian dengan tanpa mengurangi substansinya memberikan batasan difinisi Politik hukum agraria adalah Kebijakan pemerintah/ hukum ( Legal Policy ) yang akan dan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak hanya dilihat dari sudut formal (produk-produk hukum) melainkan juga latar belakang dan proses pembuatannya, dimana politik hukum agraria di Indonesia dapat diketahui dari UUD'45 dan GBHN termasuk kebijakan – kebijakan umum yang dikeluarkan pemerintahan yang legitimate. Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan dapat menimbulkan dampak antara lain konflik agraria.
Pengertian agraria yang penulis pergunakan untuk memberikan cakupan pengertian yang lebih luas dari pada pertanahan yang meliputi permukaan Bumi ( tanah ) dan perut bumi beserta kekayaan yang ada di dalamnya. Sehingga cakupan dalam studi dari poltik hukum agraria akan lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan hanya pertanahan.

6. METODE PENELITIAN.

Dalam studi penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif-historis melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan dan studi kasus. Tujuannya penelitian melalui metode penelitian Normatif ( Legal research) guna dapat menemukan asas dan dasar filsafat hukum positif atau penemuan hukum positif ( Legal positif ) dan peraturan pelaksana ( Empirical – Regulations ) sekaligus studi historis melalui penelusuran latar belakang dan kebijakan politik yang mendasari terbentuknya produk hukum. Untuk memperoleh hasil yang maksimum maka penelitian ini melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan gejala-gejala yang ada dan studi kasus, untuk memperoleh gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap dengan corak holistik dan memnyajikan informasi yang lebih terfocus.
Adapun bahan dasar yang dipergunakan dibangun melalui penelusuran data kepustakaan bidang hukum yang dikelompokan dalam sumber bahan primer seperti peraturan perundangan , bahan sekunder seperti buku, artikel dan karya ilmiah, sedangkan bahan tertier seperti kamus, almanak maupun buku-buku pegangan dipakai sebagai bahan rujukan untuk menunjang bahan primer dan sekunder. Bahan-bahan ini selajutnya dianalisa dan dideskripsikan guna mendapatkan hasil yang diharapkan.


Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 08:57 0 komentar



HGU Perkebunan, Masihkah Relevan?





on 11-09-2006 13:05
Views : 1864

Favoured : 45
Usep Setiawan dan Idham Arsyad

Tidak lama lagi kita akan merayakan Hari Agraria Nasional yang ke-46 pada 24 September. Di momentum bersejarah tersebut, penulis bermaksud merefleksi salah satu sumber ketidakadilan agraria di Tanah Air, yakni keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) bagi perkebunan-perkebunan besar.

HGU untuk perkebunan-perkebunan besar mulai dikenal di Indonesia seiring dengan ditetapkan dalam UU PA No 5/1960. Asal-muasal hak ini adalah konversi dari hak erfpacht yang dikenal di Barat dan digunakan pada masa kolonial.
Sejarah mencatat bahwa selama penggunaan hak erfpacht ini, kekayaan atas sumber-sumber agraria Indonesia tersedot oleh dan untuk kepentingan pengusaha dan mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi miskin.

Karenanya tidak mengherankan kalau banyak kalangan mengatakan bahwa sebagian konflik agraria di Indonesia adalah warisan kolonial. Saya kira salah satu jejaknya adalah hak erfpacht ini yang dikonversi mejadi Hak Guna Usaha. Namanya beda, tapi praktiknya sama, yakni memberi jaminan hukum untuk penguasaan tanah skala luas pada pihak asing.

Dalam perkembangannya, sengketa agraria di tanah-tanah ber-HGU tidak hanya dari tanah-tanah ex erpfacht yang dikonversi, tetapi juga HGU yang terbit karena penetapan pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena politik hukum agraria nasional kita memberi ruang yang disebut hak menguasai negara.

Modus operasi HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Begitu banyak sengketa agraria disebabkan oleh Hak Guna Usaha. Sampai tahun 2001, kasus di areal perkebunan yang sempat terekam berjumlah 344 kasus. Jumlah ini kita bisa bandingkan dengan aksi re-claiming yang dilakukan petani atau masyarakat adat pascareformasi.

Data yang ditunjukkan oleh Imam Koeswahyono yang diolah dari data Direktorat Jendral Perkebunan, sampai bulan September 2000, sebanyak 118.830 Ha perkebunan milik negara yang telah di-re-claiming dengan kerugian sekitar 46,5 miliar rupiah, sedang perkebunan swasta 48.051 Ha.

Merampas dan Menggusur
Tanah-tanah HGU jadi konflik karena sejak penetapannya diawali dengan manipulasi, dan seringkali dengan cara kekerasan. Akibatnya, rakyat kehilangan tanah, dan petani tak bertanah atau berlahan sempit pun semakin meluas. Penetapan lahan untuk areal HGU juga tidak menguntungkan secara ekonomi. Di era otonomi daerah, banyak perkebunan yang sama sekali tidak berkontribusi pada peningkatan PAD, misalnya kasus perkebunan teh PT Pagilaran di Batang, Jawa Tengah. Pajak hasil dan maupun pajak tanahnya justru dinikmati pemerintah Yogyakarta.

Begitu pun dari segi ekologi sangat merusak lingkungan, karena penggunaan pestisida yang tinggi. Jenis tanaman yang berjangka panjang mengakibatkan kesuburan tanah menjadi hilang. Banyaknya hutan yang dikonversi menjadi areal HGU telah mengakibatkan kebakaran (pembakaran?) hutan yang akhir-akhir ini menghebohkan, bahkan ekspor asapnya hingga ke negeri jiran.

Karena salah satu agenda penting dari pembaruan agraria adalah penataaan soal penguasaan, peruntukan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, kami merekomendasikan beberapa hal pokok.

Pertama, HGU yang berasal dari tanah ex erpfacht dihapuskan, dan dijadikan tanah negara dan menjadi objek land reform. Dasarnya adalah bahwa masa HGU ex erpfacht ini sudah habis, karena ketentuan konversi dalam UU PA No 5/1960 disebutkan bahwa ”hak erfpacht untuk perkebunan besar yang ada pada mulainya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha Pasal 28 Ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.” Ini artinya sejak tahun 1980 lalu, HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht sebenarnya harus sudah tidak ada.

Kedua, HGU yang bukan ex erfpacht dilakukan audit total yang meliputi: (1) produktif/dikelola sendiri secara aktif atau tidak produktif/tidak dikelola sendiri secara aktif. Yang tidak produktif dan tidak dikelola oleh pemiliknya sendiri, diambil alih oleh negara dan dijadikan objek land reform. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa banyak HGU yang ditelantarkan oleh pemiliknya, serta tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara aktif; (2) berdasarkan asal-muasal HGU, yang terbit dengan cara merampas dan menggusur tanah-tanah rakyat, atau ganti rugi tapi tidak sesuai, dikembalikan pada pemilik sebelumnya.

Ketiga, HGU jangan diterbitkan di atas tanah-tanah yang sudah dikuasai dan digarap oleh rakyat. Fenomena maraknya reclaiming dan okupasi yang dilakukan rakyat atas tanah-tanah perkebunan pascareformasi hendaknya menjadi indikasi perlunya pengakuan secara legal formal atas tanah rakyat tersebut. Legalisasi tanah rakyat hasil reclaiming dan okupasi mesti diupayakan serius.

Keempat, HGU untuk perkebunan besar hanya untuk usaha bersama dan dalam bentuk koperasi. Perombakan tata produksi dan tata kelola di sektor perkebunan besar mestilah diletakkan dalam kerangka reforma agraria sejati. Keberadaan perkebunan-perkebunan besar mestilah menganut semangat pelibatan rakyat di sekitar dan yang bekerja di dalamnya sebagai sama-sama pemilik atas aset perkebunan tersebut. Pola kemitraan yang adil dan serasi layak dikembangkan.

Perekat NKRI
Belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (11 April)–lihat kolom penulis di Majalah Hukumonline, edisi 3 Agustus 2006. Perpres ini layak diapresiasi sebagai momentum untuk memperkokoh niat guna memperbaiki kondisi agraria. Perpres itu menggariskan bahwa BPN berada di bawah dan bertanggung-jawab kepada Presiden.

Cakupan kewenangannya juga kian luas karena kini badan itu melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Pasal 2). Semangat nasionalisme tergurat jelas pada bagian Menimbang (b); “bahwa tanah merupakan perekat NKRI, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional...”.
BPN kini memiliki 21 fungsi, di antaranya melaksanakan reformasi agraria (poin h), pemberdayaan masyarakat (poin m), dan penanganan konflik pertanahan (poin n).
Ketiga tugas/fungsi ini dapat menjadi pintu bagi penataan ulang struktur agraria sebagai problem pokok agraria.

Kedeputian khusus yang menangani sengketa/konflik pertanahan hendaknya jadi benteng tangguh yang kapabel dan kredibel dalam menghadirkan rasa keadilan di tengah rakyat, termasuk menyelamatkan rakyat korban konflik HGU.

Kemerdekaan terasa hampa tanpa kedaulatan dan keadilan hakiki di lapangan agraria. Mengkonkretkan makna kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju kemajuan dan kemakmuran bangsa hendaknya menjadi komitmen bersama menyertai HUT Proklamasi sekaligus menjelang Hari Agraria Nasional 2006. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar