Minggu, 22 Agustus 2010

Pembatasan Upaya Hukum Kasasi terhadap Objek Sengketa berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang Jangkauan Berlakunya di Daerah tertentu.

Oleh: Gerhat Sudiono, S.H.

Dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung pada tanggal 15 Januari 2004 di Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 telah membawa perubahan dalam proses penyelesaian sengketa TUN di Pengadilan TUN, karena dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf c menyatakan bahwa terhadap perkara/ sengketa TUN yang objek gugatannya berupa “keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan” dibatasi/ dikecualikan pengajuan kasasinya.

Hal ini mempunyai konsekuensi hukum bahwa penyelesaian sengketa TUN di Lembaga Yudikatif/ Peradilan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Untuk keputusan TUN yang diterbitkan oleh Pejabat/ Badan TUN Pusat yang sifatnya nasional, penyelesaiannya melalui PTUN di Tingkat Pertama, PT TUN di Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Tingkat Mahkamah Agung (khusus sengketa yang ada upaya administrasinya melalui PT TUN di Tingkat Pertama dan selanjutnya langsung upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali di Tingkat Mahkamah Agung).
2. Untuk keputusan TUN yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat TUN Daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, penyelesaiannya menggunakan system dua tingkat, yaitu PTUN di Tingkat Pertama dan PT TUN di Tingkat Terakhir.

Dengan demikian proses hukum dalam pemeriksaan sengketa TUN di Pengadilan di satu sisi ada keputusan TUN objek sengketa yang oleh pencari keadilan dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung jika berkeberatan terhadap Putusan PT TUN di Tingkat Banding dan di sisi lain ada keputusan TUN objek sengketa yang oleh pencari keadilan tidak dapat diajukan lagi upaya hukum Kasasi jika berkeberatan terhadap Putusan di Tingkat Banding (PT TUN) ke Mahkamah Agung dikarenakan Putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) di Tingkat Banding.

Dalam hal ini 2 (dua) hal yang perlu menjadi perhatian dalam rangka pelaksanaan ketentuan pembatasan upaya hukum kasasi perkara TUN adalah :
1. Parameter/ ukuran yang digunakan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN) sebagai Pejabat Peradilan yang berwenang untuk menentukan apakah keputusan TUN objek sengketa jika dimohonkan upaya hukum kasasinya adalah keputusan pejabat daerah yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah yang bersangkutan sehingga tidak dapat diterima pengajuannya harus didasarkan atas pertimbangan :
a. Keputusan Pejabat Daerah tersebut diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara atributif memberikan kewenangan langsung kepada pejabat daerah (tolak ukurnya dilihat dari peraturan dasar yang dijadikan dasar kewenangan penerbitan keputusan TUN objek sengketa).
b. Produk keputusannya hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan (dalam hal ini keputusan pejabat daerah tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi).
c. Tidak termasuk sebagai keputusan pejabat daerah yang dibatasi upaya hukum kasasinya apabila keputusan pejabat daerah tersebut sumber kewenangannya berasal dari pelimpahan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara atributif kewenangan tersebut merupakan kewenangan pejabat pusat.

2. Bentuk surat Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN) tentang penolakan pengajuan kasasi dituangkan dalam format surat keterangan yang berisi “penetapan” bahwa terhadap surat keputusan TUN objek sengketa adalah termasuk keputusan TUN yang diterbitkan pejabat daerah yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasinya berdasarkan ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 (bersifat judicieledaad) yang terhadap penetapan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum dan dikirimkan ke Mahkamah Agung untuk diketahui bahwa terhadap perkara tersebut putusannya telah berkekuatan hukum tetap di Tingkat Banding (PT TUN) sehingga upaya hukum biasanya telah selesai dan terhadap perkara tersebut hanya dapat dimohonkan pemeriksaannya di tingkat Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi melalui upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali.

Lebih lanjut dampak pembatasan upaya hukum kasasi terhadap perkara Tata Usaha Negara ini memiliki sisi positip, antara lain :
1. Kepastian hukum dalam perselisihan sengketa TUN dapat diperoleh lebih cepat karena diputus hanya dalam 2 (dua) tingkat saja yakni di PTUN sebagai pengadilan Tingkat Pertama dan di PT TUN di Tingakat Terakhir.
2. Implementasi dari Asas Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Penumpukan perkara di Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat dihindarai/ dikurangi.

Sedangkan dampak sisi negatip dari aturan Pasal 45 A ayat 2 huruf c UU Nomor 5 Tahun 2004 ini antara lain menurut penulis adalah kesempatan untuk mendapatkan rasa keadilan berdasarkan hukum dalam putusan pengadilan yang diharapkan oleh pencari keadilan akan berkurang seandainya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap di Tingkat Banding ternyata salah atau keliru dalam menerapkan hukum yang ada atau bahkan mengesampingkan hukum itu sendiri, dikarenakan kesempatan untuk memperbaiki putusan tersebut di Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi melalui putusan Hakim Agung yang notabene secara pengetahuan dan pengalaman menangani perkaranya sudah lebih memadai daripada Hakim di tingkat pertama dan tingkat banding tidak dapat dilakukan.

Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Prof.Dr.BagirManan,
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
Good Governance hindarkan rakyat dari tindakan negara yang merugikan
Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas.
Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai "Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik". Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.
Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.
Tetapi, cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk UU dapat membuat UU yang sewenang-wenang. Berbagai UU yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain.
Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum—seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan—sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.
Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.
Berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan pemerintahan yang baik seperti: responsible, accountable, controlable, transparancy, limitable dan lain sebagainya.
Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya.
Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hukum.
Karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum.
Pelayanan yang dipanjang-panjangkan atau bertele-tele (birokratisasi), bukan hanya memperlambat, tetapi menjadi suatu fungsi "komersial", karena melahirkan sistem "uang pelicin", "hadiah" yang tidak lain dari suatu bentuk suap. Hal serupa terjadi pada penegakkan hukum . Keadilan yang ditentukan oleh kemampuan tawar-menawar menurut hukum tawar-menawar.
Berdasarkan keadaan diatas, secara praktis usaha mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari pemerintahan yang bersih, memberikan kemudahan dan berbagai jaminan bagi rakyat banyak. Dan mengingat sentuhan langsung kepada masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari upaya pembaharuan sistem adminstrasi negara (birokrasi) dan tata cara penegakkan hukum.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau pun tidak, tidak semata-mata terjadi karena ketentuan hukum yang tidak jelas, manajemen pemerintahan yang kurang baik atau berbagai faktor tata laksana pemerintahan lainnya.
Tatanan politik yang berlaku dapat mempengaruhi bahkan menentukan baik, kurang, atau tidak baik penyelenggaraan pemerintahan. Politisasi birokrasi untuk mendukung regim politik yang berkuasa, menjadi salah satu contoh terjadinya segala bentuk sistem perkoncoan menuju pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih lanjut, politisasi birokrasi menyebabkan administrasi tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat, tetapi pada kekuasaan. Birokrasi menjadi tertutup dan tidak dapat terkontrol secara wajar.
Faktor lain yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah kepastian dalam penegakkan hukum. Di masa Orde Baru ada semacam praktik yang ganjil, apabila seorang pejabat diketahui melakukan tindakan pidana korupsi, maka secara internal ia ditawari untuk mengembalikan hasil-hasil korupsi, namun pejabat korup ini tidak dihukum. Pengembalian hasil korupsi tersebut dianggap meniadakan sifat pidana dengan alasan negara atau pemerintah tidak mengalami kerugian. Perlindungan atas berbagai penyelewengan tersebut dilakukan antara lain demi "menjaga kewibawaan" satuan atau pejabat yang bersangkutan.
Faktor manajemen pemerintahan juga ikut menentukan, termasuk sistem sentralisasi yang mengabaikan penyelenggaraan pemerintah dalam satu sistem otonomi yang akan memungkinkan daerah dapat ambil bagian secara wajar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sentralisasi yang berjalan terutama 40 tahun terakhir selain melahirkan birokratisasi mahal, juga pada saat ini melahirkan berbagai tuntutan dari berbagai daerah untuk melepaskan diri dari ikatan RI.
Tidak Selalu Memiliki Kualifikasi
Tidak kalah penting adalah sumber daya manusia. Mulai dari rekuitmen (untuk sebagian dilakukan dengan dasar koncoisme atau suap) menyebabkan sumber daya manusa tidak selalu memiliki kualifikasi sebagai pengemban penyelenggara pemerintahan yang baik. Selain dasar-dasar hubungan primordial, ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem promosi tidak jarang menjadi hambatan memperoleh tenaga yang masih berpotensi melaksanakan tugasnya dengan baik.
Promosi untuk menjadi Hakim Agung yang berasal dari hakim karir, misalnya, harus menempuh masa kerja dan jabatan yang panjang. Seorang mungkin bisa menjadi Hakim Agung hanya untuk masa yang pendek sebelum masa pensiun. Akibatnya yang bersangkutan tidak berkesempatan untuk melaksanakan tugas dalam jangka waktu yang wajar.
Berbagai faktor diatas merupakan sebagian kenyataan yang menyebabkan sulitnya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Sebenarnya baik secara ilmiah maupun berbagai bentuk kebijakan telah banyak disusun konsep untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Tetapi tidak terlaksana sebagai mestinya, bila karena faktor-faktor politik maupun kurangnya kemauan dari pengelola pemerintahan.
Langkah-langkah
Demokrasi dan juga supremasi hukum seyogyanya menjadi pangkal tolak mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Berdasarkan prinsip demokrasi dan supremasi hukum dapat diharapkan unsur-unsur seperti keterbukaan, dapat diawasi, akuntabilitas dan lain sebagainya. Usaha untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dilakukan seperti cara di bawah ini.
Pertama, melanjutkan pembaharuan politik. Peraturan perundang-undangan di bidang politik yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan baru, dapat diperbaharui. Ketentuan-ketentuan mengenai sistem pemilu, susunan MPR, DPR, dan DPRD, KPU yang independen dan lain-lain perlu ditata kembali.
Kedua melanjutkan pembaharuan UUD. Pembahruan ini tidak hanya mengenai jabatan kepresidenan, tetapi perbaikan keseluruhan termasuk menyusun kembali badan perwakilan menuju sistem dua kamar. Demikian pula mengenai lembaga negara lain, disamping ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi dan lain sebagainya.
Ketiga, melanjutkan pembaharuan kekuasaan kehakiman seperti sistem pemilihan hakim Agung, pertanggungjawaban hakim yang melanggar hukum, wewenang menguji tindakan pemerintahan dan peraturan perundangan dibawah UUD, masa jabatan haik dan lain sebagainya.
Keempat, pembahruan administrasi negara. Melanjutkan pembebasan administrasi negara dari segala pengaruh politik. Penyusunan kembali organisasi administrasi negara. Menyiapkan daerah untuk menjalankan tatanan otonomi baru yang meletakkan titik berat penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam kaitan dan pemikiran bentuk negara federal, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk menyelidiki masalah federal dan juga otonomi. Usaha merampingkan administrasi negara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perlu ditingkatkan tanpa mengurangi asas kehati-hatian dan tidak sewenang-wenang. Memperbesar gaji pegawai dapat lebih memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya.
Kelima, ketegasan dalam menjalankan prinsip dan ketentuan hukum untuk menjamin kepastian, ketertiban dan keadilan hukum.
Keenam, Melakukan evaluasi terhadap segala produk hukum masa lalu, dalam rangka membangun satu tertib hukum yang utuh dan harmonis satu sama lain. Tugas ini seyogyanya dijalankan Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan mengikutsertakan para ahli dan juga praktisi dari kalangan kampus.
Ketujuh, menata kembali pemerintahan desa agar mampu menjalankan pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan rakyat banyak. Penataan ini dapat mencakup kemungkinan penggabungan desa-desa agar lebih managable dan mandiri.

http://www.transparansi.or.id/agenda/agenda2/seri_dialog/dialog7.html
Notulensi Diskusi MTI Masalah Keppres Yang Menyimpang Periode 1993-1998
Bidang : Penyelenggaraan Negara Secara Umum
Informasi Awal
Diskusi diadakan hari Kamis, 1 Oktober 1998 di Financial Club, Lantai 27 Graha Niaga, yang berasal dari Instansi-instansi a.l; Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, para anggota DPR, ICEL, dan ICW. Dari MTI selain dari tim Kajian Bidang Hukum hadir pula beberapa anggota Badan Pengurus lainnya.
Diskusi dimulai pada jam 20.00 WIB yang dibuka oleh Bapak Erry Riyana Hardjapamekas dan dimulai dengan prolog oleh Prof. Koesnadi, dan kemudian masuk kepada materi. Berbeda dengan diskusi-diskusi sebelumnya, untuk mempersingkat waktu, kali ini materi dibacakan dulu secara keseluruhan baru kemudian dikomentari oleh para peserta.
Salah seorang anggota DPR menyatakan bahwa, penelitian ini harusnya lebih dalam lagi, apabila direkomendasikan untuk dicabut, harus dipikirkan bersama penggantinya, jangan sampai penyelenggaraan negara menjadi kacau. Juga kalau bisa terhadap yang jelas melanggar hukum positif kita, sebaiknya ditindaklanjuti, misalnya masalah korupsi.
Peserta dari Depdagri menyatakan bahwa UU Otonomi Daerah sudah 5 kali dibahas di Depdagri. Sedangkan Tabungan Perumahan Rakyat (Taper) bagi sebagian pegawai negeri justru menguntungkan karena menjadi punya kesempatan untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Untuk komentar ini Prof. Koesnadi menyatakan bahwa sebaiknya Taper diatur dengan UU karena sifatnya yang berupa pungutan.
Peserta yang berasal dari Sekretariat Jenderal DPR-RI menyarankan agar ada penelitian khusus mengenai eksistensi dari Kota Mandiri sehubungan dengan adanya Jonggol sebagai Kota Mandiri. Materinya menyangkut: bagaimana kedudukan Kota Mandiri itu dalam administrasi negara, kepala daerahnya, otonominya dan lain-lain, karena Kota Mandiri belum dikenal konsepnya dalam administrasi negara. Kemudian sehubungan dengan Keppres mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan umum, memang "kepentingan umum" di sini sangat interpretatif. Sampai sekarang belum pernah ada ketegasan mengenai definisi dari "kepentingan umum" ini. Ia mengusulkan agar ada penegasan makna "kepentingan Umum" agar di masa yang akan datang hak-hak masyarakat tidak bisa diinjak-injak lagi dengan dalih "demi kepentingan umum".
Setjen DPR sendiri juga tengah meneliti mengenai konsep legislative review yang dikemukakan oleh Tim Kerja Bidang Hukum MTI. Mengomentari Keppres mengenai haji dan umroh, ia menceritakan juga bahwa pada Kabinet yang lalu (dengan Quraish Shihab sebagai Menag), telah disepakati akan dikeluarkannya RUU Usul Inisiatif tentang Haji dan Perjalanan Umroh.Sebagai langkah konkrit upaya DPR untuk menjalankan fungsinya, Setjen DPR telah memulai upaya pengawasan peraturan perundang-undangan. Suatu UU yang telah dikeluarkan terus dipantau apakah PP yang diamanatkan untuk dikeluarkan di bawah UU tersebut telah dikeluarkan sebagaimana mestinya. Pada intinya, Setjen DPR telah memiliki visi yang kurang lebih sama dengan MTI. Namun disadari bahwa ternyata suprastruktur kita belum memadai untuk pemerintahan yang bersi mandiri, dan berwibawa. Untuk itu, Prof. Koesnadi secara khusus mengharapkan adanya kerja sama yang lebih erat dengan Setjen DPR-RI.
Peserta lainnya yang juga berasal dari anggota DPR mengomentari mengenai masalah Jonggol. Komisi III DPR telah menyoroti masalah ini, bahkan sampai kepada permasalahan lingkungannya, terutama masalah banjir. Kemudian Komisi III juga telah mempertanyakan mengenai masalah hibah kapal. Ketika ditanyakan bagaimana pelaksanaannya kepada Menteri Transmigrasi, dijawab bahwa sementara Pengadilan belum memutuskan, kapal tersebut dipinjamkan dulu (padahal di Keppres tertulis "hibah"). Ia juga mengomentari mengenai masalah hak atas tanah yang mempengaruhi banyak aspek, yaitu hukum, ekonomi, dan ekologi. Untuk itu ia mengharapkan ada kerja sama yang baik dengan MTI untuk mengkaji aspek-aspek tersebut.
Peserta dari Departemen Agama mengomentari Keppres yang mengatur mengenai haji dan umroh. Di GBHN tertera bahwa penyelenggaraan urusan haji harus diaturdengan UU. Untuk itu sedang dibuat RUU-nya dan sudah ada Inpres untuk membuat RUU tersebut. Ia juga menyarankan agar tarif Umroh menggunakan Kepmen saja. Untuk penyelenggaraan haji tahun 1999 telah keluar Keppres 122/1998 dengan tarif baru sebesar + Rp. 27 juta. Kemudian Keppres mengenai angkutan oleh Garuda sudah dicabut, sekarang pengangkutnya adalah Garuda bersama-sama dengan Saudia. Sedangkan yang berhak mengatur mengenai penetapan tarif, dilihat saja nanti RUU-nya, Depag justru meminta saran dari MTI. Mengenai Badan Pengelola Urusan Haji, Badan ini memang baru tapi harapannya adalah keberadaan badan ini dari dan untuk ummat dan tidak mengandung masalah.
Peserta dari sekretariat Indonesian Corruption Watch menyatakan bahwa pihaknya juga telah meneliti mengenai Keppres.
Peserta lainnya dari anggota DPR menyatakan kembali mengenai PP. Banyak UU yang sudah dibahas tetapi PP-nya tidak keluar. Misalnya UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Tidak adanya PP ini menyebabkan UU tersebut tidak operasional. Untuk itu ia meminta MTI untuk turut mendorong keluarnya PP dari UU yang ada. Contoh lainnya yaitu UU 7/1996 tentang Pangan, yang sebenarnya juga mengatur mengenai food security dan food safety, tetapi PP-nya belum ada yang keluar.
Peserta dari Departemen Kehakiman menyatakan keanehan sifat Keppres. Untuk itu, seharusnya ada pagarnya dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seharusnya dijadikan acuan.
Peserta dari ICEL menyarankan agar MTI mencermati perkembangan terakhir. Karena ternyata akan dibuat Keppres mengenai Tata Ruang Jabotabek yang memasukkan Area Reklamasi sebagai salah satu komponennya. Keppres ini sedang dibuat 2 hari ini. Prof. Koesnadi menyatakan bahwa hal ini salah, mengenai tata ruang tidak usah dengan Keppres, salah satu contoh yang salah adalah Batam.
Andy Eldes, salah seorang pendiri MTI mengingatkan bahwa bagaimana pun MTI harus memikirkan perubahan sistemnya, agar presiden di masa yang akan datang tidak melakukan kesalahan yang sama.
Salah seorang anggota DPR kembali memberi komentar. Kali ini menanyakan kapan tenggat waktu MTI untuk melakukan penelitian bagi Keppres tahun-tahun sebelumnya. Ia juga menceritakan mengenai masalah "stiker jalan Sudirman". Menurutnya waktu itu DPR sudah menyatakan ketidaksetujuannya karena peraturan perundang-undangannya tidak memungkinkan. Akan tetapi ternyata bisa dikeluarkan dengan penyelehgunaan wewenang. Sebagai informasi, menurutnya Keppres ini adalah yang paling singkat pembuatannya.
Selanjutnya karena waktu sudah habis, diskusi ini ditutup oleh Prof. Koesnadi dan dilanjutkan dengan kata penutup dari Bapak T. Mulya Lubis dari ICW dan Bapak Erry Riyana Hardjapamekas dari MTI.

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=10&mnorutisi=11

PELAKSANAAN FUNGSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK

oleh :
Iskatrinah SH, Mhum., Dosen Unwiku Purwokerto


Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.
Identifikasi Masalah
Bagaimana pelaksanaan fungsi-fungsi HAN dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ?
Upaya apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan pemerintahan yang baik ?
Kerangka Pemikiran
Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintahan ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.
Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.
Eksistensi Pemerintah dalam konsepsi Welfare State Indonesia.
Negara Hukum Indonesia
• Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
• Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
• Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
• Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
• Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
• Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
• Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
• Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.
Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia, dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.
Adanya kesamaan antar manusia dalam suatu negara akan memungkinkan lahirnya partisipasi aktif dari setiap orang. Partisipasi ini penting dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, agar isi dari konstitusi sebagai hukum dasar ini merupakan kristalisasi dari keinginan-keinginan dan kehendak dari sebagian besar masyarakat, kalau tidak dapat dikatakan semua masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu negara ini merupakan esensi dari demokrasi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
• Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.
Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum
Pengertian Tindakan Pemerintahan
Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
• Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
• Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
• Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
• Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
• Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
• Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
• Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
• Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
• Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :
Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;
Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.
Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara
Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.
Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
• Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
• Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
• Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara
Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan.28 Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan.29 Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :
Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;
Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;
Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.30
Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,31 dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.32 Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.
Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :
Syarat-syarat material :
• Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;
• Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
• Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;
• Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Syarat-syarat formal :
• Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
• Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
• Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;
• Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.
Fungsi Jaminan Hukum Administrasi Negara
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.34 Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.35 Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.
Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.
Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan perintahan yang baik.
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik
Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya Meningkatkan Pemerintahan yang Baik
Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.37 Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kesimpulan
Pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan antara lain dengan pengawasan lembaga peradilan, pengawasan masyarakat, dan pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Saran
Agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik, maka sebaiknya pengawasan lembaga peradilan, masyarakat, dan lembaga ombusdmen dilakukan dengan efektif. Di samping itu, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behorlijk bestuur).

http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=46
Strategi Menuju Clean and Good Government

oleh: M. Fajrul Falaakh
(Desember 2003)

Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik (good governance) menjadi agenda utama di Indonesia dewasa ini. Menarik bahwa penentuan agenda ini didahului oleh krisis finansial (1997) yang meluas menjadi krisis ekonomi. Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang luas yang menuntut perbaikan ekonomi negara, penciptaan good corporate governance di sektor swasta, dan perbaikan pemerintahan negara.
Seperti dialami bersama, bangsa Indonesia memulai semua itu dengan mendesak suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999), pembentukan lembaga perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam mengawasi pemerintah (eksekutif), pengurangan dan bahkan penghilangan intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di luar bidang mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan lain-lain.

Pendek kata, berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat dalam keseluruhan dinamika governance menerima sorotan dan harus diperbaiki, pihak-pihak itu bukan hanya negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) melainkan juga pihak swasta dan masyarakat sipil (civil society). Yang terakhir dituntut meningkatkan perannya dalam rangka mengembangkan demokratisasi dan akuntabilitas pemerintahan negara.
Namun governance reform yang kini terpusat pada pihak eksekutif dan administrasi negara, tidak dapat dihindari. Berbagai faktor telah menyebabkannya. Konstitusi Indonesia termasuk a heavy-executive constitution, yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Peran pemerintah selama 30-an tahun terakhir juga begitu dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dominasi ini telah didukung secara sistematis melalui peran birokrasi yang tidak netral-politik karena menganut monoloyalitas kepada Golkar, sistem kepartaian dominan (dominant party system), dan militer.

Dengan pemerintahan negara yang elitis, sedangkan masyarakat sipil masih lemah atau bahkan dibungkam, pemerintah memainkan peran yang strategis di bidang politik, sosial dan ekonomi. Eksekutifpun semakin independen, karena anggaran negara banyak didukung oleh hutang luar negeri. Maka dapat dimengerti bahwa independensi pemerintah tersebut juga merambah ke dunia usaha dan menghasilkan pengusaha pemburu rente (rent-seekers).
Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggambarkan kebobrokan sistem pemerintahan negara yang didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama tersebut di muka, dan dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu terdapat berbagai strategi pencapaiannya.

Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.

Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui bersama, birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi yang menggurita. Mereka bukan hanya berada di lingkaran eksekutif seperti Sekretariat Negara, Departemen, Lembaga Non-departemen, dan BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan rakyat dan peradilan. Upaya awal sudah dilakukan, seperti transfer administrasi peradilan umum dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung, atau penentuan anggaran sendiri oleh lembaga perwakilan rakyat.
Namun banyak hal masih harus dilakukan dalam reformasi administrasi negara ini. Secara umum reformasi itu mencakup peran atau tugas sistem addministrasi negara antara lain guna melayani masyarakat secara aspiratif daripada melayani kepentingan sendiri melalui kolusi dengan dunia usaha dan nepotisme. Peran lain adalah memberi ruang pada masyarakat dan sektor swasta untuk berkembang dari bawah (bottom-up) dan di daerah (decentralization). Bappenas, Dirjen Sospol Depdagri, Dephankam, misalnya telah mengalaminya.
Aspek lainnya adalah penataan kelembagaan, termasuk melakukan rasionalisasi lembaga dan personil. Hal ini memerlukan peninjauan ulang terhadap keberadaan dan fungsi berbagai macam lembaga sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik dewasa ini. Termasuk yang harus mengalami reformasi adalah proses dan tata-cara administrasi negara yang tidak berbelit-belit, transparan, memuaskan dan tidak korup.

Keempat, kultur dan etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika pejabat harus ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita (perhatikan layanan KTP, pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan perangkapan jabatan, berkolusi, penerimaan uang pelicin dan lain-lain.

Kelima, masalah sumber daya manusia yang memerlukan rekruitmen berdasarkan kualitas dan profesionalisme, peningkatan pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit system, dan meningkatnya kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat esselon, juga pegawai negeri sipil-militer dengan pegawai BUMN).

Keenam, pengawasan administrasi negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Pengawasan preventif melekat pada sistem administrasi negara yang bersangkutan, seperti kejelasan job description, pengawasan oleh atasan, dan secara umum berupa penyelenggaraan pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip yang baik, yang harus diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia belum memiliki ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui peradilan adminastrasi yang terbatas pada keputusan konkret (beschikking).

Memang banyak hal yang harus diperbaiki. Peran legislatif dalam mengutamakan kepentingan publik harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan partai atau golongan. Pemahaman anggota (yang baru) mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis yang mewarnai kultur peradilan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Sebaliknya, ketidakpatuhan birokrasi dalam menjalankan putusan hakim juga menuntut pemberdayaan putusan peradilan administrasi.
Berbagai strategi lain mungkin saja dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju clean and the good governance, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.



Artikel
Penyelenggaraan Otonomi Pertanahan; Suatu Pemikiran
[ Rizal Anshari ]
1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah sudah memasuki implementasi tahun kedua, walau banyak kelemahan dan kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, namun kita tidak bisa mundur dan kembali ke belakang. Otonomi daerah mesti kita sikapi dengan bijaksana dan hati-hati agar implementasi dari undang-undang dimaksud dapat berjalan dengan semestinya. Dari sekian banyak persoalan yang harus dibenahi oleh pemerintah pusat dalam pelaksanan otonomi daerah adalah persoalan yang menyangkut masalah kewenangan pertanahan. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah/Kabupaten antara lain bidang pertanahan.

Tugas bidang pertanahan menurut undang undang tersebut dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing, sedangkan menurut PP. 25/2000, Propinsi sebagai derah otonomi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pertanahan, sehingga pelimpahan dibidang pertanahan di tingkat propinsi sebagai daerah administrasi sangat bergantung pada Pemerintahan Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan pusat kepada gubernur selaku kepala pemerintahan di tingkat propinsi, maka itu masih dalam kerangka dekonsentrasi.

Sampai saat ini masih terdapat selisih pendapat mengenai pelaksanaan otonomi pertanahan. Hal ini terlihat dari adanya daerah yang membentuk dinas daerah yang melaksanakan tugas-tugas pertanahan dan ada juga yang masih menunggu petunjuk tennis dari pemerintah pusat, bahkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, telah melantik pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pertanahan dan beberapa kabupaten/kota lain. Perbedaan pendapat dan duplikasi organisasi pertanahan di daerah tentu saja menimbulkan in-efisiensi dan membingungkan masyarakat.

Berdasarkan rapat dengan Tim Keppres tanggal 22 Desember 2000 bahwa ketua tim yang membawahi Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa BPN tetap melaksanakan tugas-tugas berdasarkan Keppres No. 195/2000, namun demikian dianjurkan untuk meninjau kembali Keppres tersebut untuk disesuaikan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999.

Tulisan ini dimaksud untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan otonomi bidang pertanahan.

2. Tujuan Pengelolaan Pertanahan dan Otonomi Pertanahan
Pada dasarnya tujuan pengelolaan pertanahan dan otonomi pertanahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.

Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut diatas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut Adminstrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.

Ada beberapa indikator untuk melihat tingkat keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan antara lain :
a. diketahuinya siapa yang memiliki/menguasai sesuatu bidang tanah jenis penggunaan tanahnya.
b. bagaimana hubungan hukum antara bidang tanah dengan yang menguasai bidang tanah.
c. berapa luas suatu bidang tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum.
d. dimana letak tanah tersebut yang dapat dipetakan berdasarkan suatu sistem proyeksi peta yang dipilih, sehingga dapat dihindari tumpang tindih sertipikat.
e. informasi yang disebutkan pada huruf a, b, c dan d diatas dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang memadai.
f. penyimpanan dokumen yang tertib, teratur, dan terjamin keamanannya.
g. terdapat prosedur tetap yang sederhana, cepat namun akurasinya terjamin.
Salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan Administrasi pertanahan adalah dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah sistematik. Namun demikian hambatan yang dihadapi pemerintah sekarang dalam pelaksanaan kegiatan ini menyangkut pendanaan. Oleh pemerintah pusat, untuk mengatasi hambatan tersebut pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP Tahap I) melalui pinjaman dana yang berasal dari Bank Dunia dan dana pendamping APBN. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1994 dan berakhir tahun 2000.

Melihat betapa urgensinya kegiatan pendaftaran tanah sistematik dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia, pemerintah maupun pihak Bank Dunia tengah mengevaluasi kegiatan PAP tahap I. Ada indikasi bahwa pelaksanaan PAP tahap I cukup berhasil walau ada beberapa hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaannya. Diharapkan pada tahap kedua pelaksanaan proyek administrasi pertanahan ini, makin dapat mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia.

Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong "good governance" BPN sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparasi, sederhana, murah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik. Penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada daerah dalam rangka Otonomi Daerah dimaksudkan agar dapat meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan meringankan beban masyarakat dalam pengurusan pertanahan, yang menurut sebagian orang masih tetap dipusatkan di BPN Pusat.

3. Pelaksanaan Pengelolaan Pertanahan
Kebijakan pengelolaan pertanahan diatur dalam beberapa undang-undang antara lain; Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Penataan Ruang. UUPA merupakan hukum publik dan hukum perdata, sebagai hukum publik memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan politik pertanahan, dan sebagai hukum perdata antara lain mengatur kewenangan pemegang hak atas tanah dalam menggunakan hak keperdataannya antara lain seperti memanfaatkan tanah, menjual tanah, memberikan hak tanggungan.

Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugasnya berdasarkan UUPA secara umum mengatur beberapa hal mengenai:
a. kebijaksanaan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah (land tenure dan land rights).
b. kebijaksanaan rencana penggunaan tanah (land use planning).
c. kebijaksanaan pendaftaran tanah (land registration).
Pengaturan ketiga jenis kebijaksanaan pertanahan yang merupakan kewenangan negara tersebut dijabarkan lagi dalam peraturan perundangan berupa Undang-undang sampai tingkat peraturan menteri. Dalam UUPA ditegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah, hak-hak atas tanah, dan pendaftaran tanah dipegang oleh Pemerintah Pusat dan pelaksanaannya sebagian besar dilaksanakan di propinsi dan di kota/kabupaten, bahkan kewenangan pendaftaran hak atas tanah untuk segala jenis hak maupun penggunaannya dilaksanakan di kota/kabupaten dalam rangka dekonsentrasi. Sedangkan rencana penataan ruang (termasuk penggunaan tanah daerah) menurut pasal 14 ayat (2) UUPA dan pasal 27 dan pasal 28 Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang kepada daerah diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi, sehingga percepatan kegiatan tersebut Pemerintah mendapat pinjaman dari Bank Dunia.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan:

Pertama melalui pendekatan sistematik : Proyek uji coba pendekatan sistematik dilaksanakan tahun 1995 di Kota Depok, yang biayanya mendapat bantuan Bank Dunia. Biaya yang dipungut masyarakat untuk tanah hak lama antara Rp. 3.000 - Rp. 45.00, sedangkan untuk tanah-tanah yang berasal dari tanah negara berkisar antara lain Rp. 10.500 - Rp. 18.000. dengan diberlakukannya PMNA No. 4 tahun 1998 yang antara lain menghapuskan biaya administrasi dan PMNA/KBPN No. 7 tahun 1999 yang antara lain membebaskan biaya pendaftaran tanah, untuk tanah-tanah hak lama masyarakat hanya dipungut biaya blanko sertipikat. Sedangkan untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas hanya dipungut biaya blanko sertipikat dan untuk tanah-tanah yang nilainya diatas Rp. 30 juta dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB). Berdasarkan pengalaman dalam Proyek Administrasi Pertanahan, pendaftaran tanah sistematik sangat diharapkan oleh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.

Kedua melalui pendekatan sporadik : sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan sporadik yang berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan pemerintah untuk menyelenggaraan pendekatan sistematik terbatas. Biaya yang dipungut dari masyarakat dalam pendekatan sporadik adalah untuk pengukuran dan biaya panitia A, sedangkan untuk pendaftaran hak atas tanah tidak dipungut biaya. Untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas tanah dipungut BPHTB (nilai tanah diatas Rp. 30 juta) dan uang pemasukan ke Kas Negara yang besarnya tergantung dari jenis hak atas tanah dan luas tanahnya dan untuk luas tanahnya tidak lebih dari 200 meter persegi tidak dikenakan uang pemasukan.

Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya. Oleh karena itulah di sebagian besar negara Eropa, pelaksanaan pendaftaraan tanah diselenggarakan oleh siapapun. Begitu juga di Indonesia sampai tahun 1947 penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh pegawai balik nama yang berada di pengadilan dan dalam pertengahan tahun 1950 an kewenangan pendaftaran hak atas tanah menjadi tanggung jawab Jawatan Pendaftaran Tanah yang berada di lingkungan Kementerian Kehakiman.

Realitas lain, dalam pelayanan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional menyangkut masalah pelayanan yang lintas batas dan berwawasan nasional. Pelayanan pertanahan yang lintas kabupaten/kota maupun propinsi, antara lain; Pembebanan tanggungan yang dapat di bebankan pada beberapa bidang tanah yang letaknya di beberapa propinsi dimana bisa saja pembuatan akte tanggungannya dibuat oleh PPAT dalam satu akta, pemasangan Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang melintasi batas propinsi, pembagian lembar peta dasar pendaftaran yang melintasi batas propinsi. Sehingga melihat realitas pelayanan seperti diatas, maka kewenangan yang berskala nasional pelaksanaannya akan lebih efesien kalau di selenggarakan secara nasional, oleh karena itu menurut PP No. 25 tahun 2000 tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Kondisi saat ini kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan masyarakat sebagian besar dilaksanakan di kota/kabupaten dan propinsi, sedangkan yang dilaksanakan di pusat hanya sebagian kecil yaitu :
a. Pemberiah hak pengelolaan atas tanah negara kepada pemerintah daerah, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.
b. Pemberian hak guna usaha atas negara yang luasnya lebih dari 200 Ha.
c. Pemberiah hak milik non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi.
d. Pemberian hak guna bangunan tanah non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 15 Ha.
e. Pemberian hak pakai tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 15 Ha.
f. Menetapkan pemberian hak atas tanah secara umum.
g. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.
h. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan Kepala BPN yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya maupun untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
i. Penegasan obyek landreform.
j. Pengukuran batas tanah yang luasnya lebish dari 1.000 Ha.
k. Pengukuran kerangka dasar kadastral nasional orde 1 dan orde 2.
l. Pembuatan peta dasar pendaftaran nasional.
m. Penetapan lokasi pendaftaran tanah sistematik.
n. Pemberian hak atas tanah berdasarkan UU No. 3 1960 (P3MB/Prk 5).
4. Prakiraan Permasalahan Otonomi Pertanahan
Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 diklasifikasikan sebagai hukum publik yang secara langsung tidak dapat diberlakukan dalam bidang pertanahan, karena bidang pertanahan tidak hanya menyangkut hukum publik tetapi juga menyangkug hukum perdata (UUPA yang merupakan pengganti Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa). Dengan demikian perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan UUPA dan peraturan pelaksanaan lainnya, sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak mengandung cacat hukum. Oleh karena itu kalau otonomi pertanahan dilaksanakan apakah produk hukumnya tidak mengandung cacat hukum.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah selain berskala nasional juga berfungsi sebagai lembaga peradilan yang berkaitan dengan penetapan status hukum bidang tanah, batas tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukum tersebut. Dengan demikian seharusnya dalam melakukan tugasnya harus benar-benar obyektif, independen dan bebas dari pengaruh siapapun. Kalau kewenangan ini diserahkan kepada daerah, dikhawatirkan kepentingan Pemerintah Daerah diutamakan dengan mengabaikan keadilan dan kebenaran menurut hukum.

Pelayanan yang bersifat lintas propinsi seperti pembuatan akta hak tanggungan yang dibuat oleh seorang PPAT yang wilayah kerjanya meliputi satu kota/kabupaten akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berhak untuk memberikan izin kepada PPAT tersebut untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya, apabila pendaftaran dilaksanakan di wilayah otonomi yang lain.

Permasalahan yang krusial sejak dilaksanakannya Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22 1999, terjadi perpindahan besar-besaran Sumberdaya Manusia terutama sarjana dalam skala besar baik yang berada ditingkat Kantor Wilayah BPN maupun Kantor Pertanahan di luar Pulau Jawa ke Pulau Jawa. Perpindahan tentu saja menimbulkan penurunan kualitas pekerjaan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai contoh; eksodus puluhan bahkan ratusan sarjana Geodesi ke Jawa menimbulkan ketidakmampuan daerah dalam pembuatan peta pendaftaran dalam sistem TM-3 derajat. Sebagai contoh, pada bulan Desember 2000 Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada beberapa Kantor Wilayah BPN di Kaltim, Kalsel dan beberapa propinsi lain, memberikan implikasi lain, memberikan implikasi daerah yang bersangkutan tidak mampu melakukan pekerjaan merapatkan titik kadastral Nasional Orde 2 dalam sistem TM-3 derajat. Bagaimanapun juga titik dasar teknis orde 2 dan orde 3 adalah titik awal kegiatan kadastral dalam sistem nasional.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah, juga menimbulkan kecenderungan daerah untuk menambah pendapatan asli daerah. Bidang pertanahan merupakan salah satu potensi untuk menambah pendapatan daerah. Sebagai contoh pemerintah kota Samarinda saat ini telah mengeluarkan keputusan bahwa masyarakat dipungut biaya untuk mendaftarkan tanahnya, yang selama ini tidak dipungut biaya. Pemerintah kota Tarakan meminta kepada Kepala Kantor Pertanahan agar 80% dari uang pemasukan ke Kas Negara dalam rangka pemberian hak atas tanah negara disetorkan ke kas Kota Tarakan. Keadaan-keadaan demikian sangat potensial di contoh oleh kabupaten/kota lain, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesan otonomi pertanahan akan memberatkan masyarakat.

Menurut pasal 19 UUPA penyelenggaraan pendaftaraan tanah adalah kewajiban Pemerintah, namun melihat kecenderungan daerah disatu sisi dan kondisi kondisi sebagian besar rakyat Indonesia berada pada level masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak mampu untuk membiayai persertipikatan tanahnya, jika tidak mampu digantikan oleh peranannya oleh Pemerintah Daerah, penyelenggaraan pendaftaran tanah sistematik dan pendaftaran tanah massal lain disinyalir akan memberatkan masyarakat dan menghambat terwujudnya tertib administrasi pertanahan.

Berdasarkan hasil pengamatan kami ke beberapa daerah pada tahun 1999, penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh beberapa Kantor Pertanahan belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yo.PMNA/KBPN No. 3 1997, sehingga tidak mempunyai ciri sebagai pendaftaran modern yang mengharuskan adanya peta pendaftaran. Seorang reseach fellow dari University of Tokyo dalam Seminar Internasional ke 6 tentang Konsolidasi Tanah dan Pembangunan Perkotaan menyatakan bahwa "land registration in Indonesia is unclear". Pada umumnya yang menjadi kelemahan pelaksanaan pendaftaran tanah sekarang ini adalah jenis kegiatan manajemen dokumentasi pertanahaan (land records management) dan pengukuran pemetaan.

Dalam manajemen dokumentasi pertanahan pada umumnya Kantor Pertanahan tidak membuat daftar tanah yang mencatat semua bidang tanah yang telah diukur, begitu juga distribusi Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde 1 dan 2 tidak dipetakan dalam peta Kabupaten/Kota sehingga mengakibatkan tumpang tindih Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang pembuatannya melalui proyek-proyek yang berbeda. Sedangkan dalam bidang pengukuran dan pemetaan, kelemahan mendasar adalah penerbitan sertipikat tidak diikuti dengan pembuatan peta pendaftaran. Kelemahan dalam bidang pengukuran dan pemetaan ini, kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai prosedur kerja pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam PMNA No. 3 tahun 1997, ataukah disebabkan oleh hal lain ? Perlu diteliti lebih jauh.

Kedua kegiatan kurang mendapatkan perhatian serius padahal sebenarnya kegiatan inilah inti dari pendaftaran tanah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan, karena tanpa memperhatikan kedua kegiatan ini akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti timbulnya tumpang tindih sertipikat, kesulitan mencari dokumen pada waktu diperlukan. Selain itu tanpa memperhatikan kedua jenis kegiatan tersebut, maka pembangunan Sistem Informasi Pertanahan akan mengalami kesulitan besar.

Sebagai kontrol penerbitan surat keputusan pemberian hak, Kepala BPN mempunyai kewenangan membatalkan surat keputusan pemberian hak tanah yang dalam penerbitannya oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi mengandung cacat hukum. Apabila semua kewenangan pemberian hak tanah dan pembatalannya berada disatu tangan, fungsi kontrol dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang mengandung cacat hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan tugas lain Instansi Pertanahan adalah menyelesaikan permasalahan pertanahan. Permasalahannya adalah apabila dalam suatu sengketa tanah yang strategis, lintas sektoral dan berdampak nasional serta melibatkan Pemerintah Daerah, akan sulit bagi Pemerintah Daerah untuk menyelesaikannya secara obyektif. Sebagai contoh adalah permasalahan tanah timbul di Segara Anak Propinsi Jawa Tengah yang sekarang ini diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap, Departemen Kehutanan, Departemen Kehakiman dan HAM, menurut pendapat kami seharusnya ditangani oleh Pemerintah Pusat.
5. Kesimpulan
1. Walaupun dikatakan dalam pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 bahwa bidang pertanahan merupakan bidang yang wajib dilaksanakan di Daerah, namun melihat sebagian fungsi pertanahan bersifat pekerjaan yang menuntut objektifitas dan kemandirian dalam pendaftaran tanah (dibandingkan dengan Kantor Imigrasi yang mengeluarkan paspor dan Kantor Pendaftaran Fidusia yang mendaftarkan fidusia masih tetap merupakan kewenangan Pemerintah Pusat), penyelesaian masalah pertanahan yang strategis dan bersifat nasional serta kegiatan yang bersifat lintas propinsi seperti pembebanan hak tanggungan, maka kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidan pertanahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 perlu diperluas.
2. Dengan mengingat hal-hal yang kami kemukakan dalam bahasan sebelumnya, kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana disebutkan PP. 25 tahun 2000 perlu diperluas dengan memasukan kewenangan BPN yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan ditambah beberapa hal, antara lain; penyelenggaraan pendaftaran tanah, pemberian hal pengelolaan dan pemberian hak pakai Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang dikeluarkan daerah yang dalam penerbitannya mengandung cacat hukum, penyelesaian masalah pertanahan yang strategis dan bersifat nasional misalnya sengketa tanah yang melibatkan Pemerintah Pusat,dan Pemerintah Daerah.
3. Kelemahan yang mendasar pada Kantor pertanahan adalah bidang Manajemen Dokumen Pertanahan serta Bidang Pengukuran dan Pemetaan yang sangat mempengaruhi kinerja Kantor Pertanahan. Kondisi ini disebabkan antara lain kurangnya sarana dan prasarana, biaya dan terutama tingkat profesionalisme staf yang belum memadai. Untuk meningkatkan profesionalisme sumberdaya manusia dibidang pertanahan perlu dipikirkan menghidupkan kembali kursus- kursus profesional setingkat DI, DII dan DIII agar benar-benar dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang profesional khususnya bidang pendaftaran tanah dan pengukuran dan pemetaan yang selama ini ketrampilannya tidak sebagaimana yang diharapkan.
4. Walaupun penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat, tetapi untuk kelancaran pelayanan masyarakat tetap dilaksanakan di daerah, dan untuk hal tersebut perlu dibuat kantor untuk melaksanakannya seperti Kantor Pendaftaran Fidusia, Kantor Imigrasi.
5. Terwujudnya tertib administrasi pertanahan sangat ditentukan oleh penyelenggaraan pendaftaran tanah. Berdasarkan fakta selama ini pendaftaran tanah melalui pendekatan sporadik banyak menimbulkan masalah antara lain timbulnya tumpang tindih sertipikat, bidang tanah yang terdaftar tidak diketahui tempatnya, karena itu pendaftaran tanah melalui pendekatan sistematik perlu ditingkatkan.


» Ir. Rizal Anzhari: penulis adalah Inspektur Utama Utama Badan Pertanahan Nasional.
http://www.bpn.go.id/html/artikel/artikel002.html?print=yes

PARADIGMA PERTANGGUNGJAWABAN TUN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.: 22 TAHUN 1999

Oleh : Suprayitno, SH. MH

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah membawa berbagai implikasi sebagai akibat adanya pergeseran kewenangan yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Artinya kewenangan-kewenangan yang dulu selalu diatur dan tanggungjawab Pemerintah Daerah.

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No: 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa: Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
Ini berarti bahwa sebagian besar kewenangan dibidang Pemerintahan adalah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat hanyalah sebatas menyiapkan dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kebijakan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2), dengan pengecualian menyangkut kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal serta agama.
Dengan demikian Pemerintah Pusat tidak lagi bertindak sebagai penentu atau penetap setiap kebutuhan Daerah.
Ini merupakan suatu paradigma perubahan atau pergeseran kewenangan pemerintah, yang pada Era Undang-undang No: 5 Tahun 1974 kewenangan tersebut tersentral pada Pemerintah Pusat, maka pada Era Undang-undang No: 22 Tahun 1999 kewenangan Pemerintah tersebut bergeser kepada Pemerintah Daerah.
Pergeseran kewenangan tersebut, meliputi segala aspek kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan pelayanan pemerintahan. Termasuk kewenangan yang bertalian dengan kebijakan mengeluarkan atau menerbitkan berbagai bentuk Keputusan Tata Usaha Negara . Kewenangan Keputusan Tata Usaha Negara yang semula terpusat atau terkonsentrasi pada Pemerintah Pusat, bergeser menjadi kewenangan dan tanggungjawab Daerah.
Bertalian dengan itu Undang-undang Pemerintah Daerah juga menentukan bahwa otonorni yang bertanggungjawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa peningkatan pelayanan kesejahteraan rnasyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Makna dari itu semua adalah, terlepasnya hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan, penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain, berpindah menjadi kewenangan dan tanggungjawab Daerah propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Pergeseran dimaksud tercermin juga dalam Pasal 11 yaitu: (1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9; (2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Implikasi Kewenangan Tata Usaha Negara
Menurut Undang-undang No: 22 Tahun 1999 Otonomi yang bertanggungjawab adalah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa: peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; pengembangan kehidupan demokrasi; dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, diharapkan Daerah dapat lebih mampu dalam memandirikan dirinya.
Bila kita cermati kembali makna Pasal 7 ayat (2) dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) dapat disimpulkan bahwa; segala jenis kewenangan Pemerintah telah rnenjadi kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, kecuali kewenangan Pemerintah Pusat berupa : 5 [lima) bidang kewenangan pemerintahan, serta kewenangan Propinsi sebagaimana termuat dalam Pasal 9, itupun hanya kewenangan yang bila terdapat kewenangan yang merupakan lintas Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak dapat diatur secara sendiri-sendiri oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dengan demikian kewenangan yang dituangkan dalam keputusan tata usaha negara, yang semula melekat pada Pemerintah Pusat (Menteri Dalam Negeri) akan berpindah dan menjadi final serta melekat pada Bupati dan atau Walikota.
Keputusan tata usaha negara yang menjadi final di Daerah berdasarkan pergeseran kewenangan kepada Pemerintah Daerah ini antara lain berupa keputusan tata usaha negara di bidang : pengadaan barang Daerah, penghapusan barang daerah, pengangkatan dalam jabatan Sekda, Kepala Dinas, pergeseran perhitungan APBD, penetapan organisasi daerah, penetapan hak-hak tanah dan pencabutan hak-hak tanah.
Implikasinya terhadap kewenangan keputusan yang telah menjadi final pada Kepala Daerah adalah bahwa : baik tanggungjawab yuridis formal maupun yuridis materil terhadap timbulnya gugatan dari orang atau badan hukum perdata (masyarakat) yang merasa dirugikan kepentingannya sebagai akibat diputuskannya keputusan TUN tersebut, adalah tanggungjawab Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota).
Keutusan TUN dalam Pelayanan Masyarakat.
Pengalaman selama kurun waktu 32 tahun di Era pemerintahan Orde Baru, para birokrat pemerintah telah memposisikan dirinya bukan sebagai abdi masyarakat atau abdi rakyat yang konotasi pengertiannya adalah sebagai pelayan masyarakat atau orang yang melayani kepentingan masyarakat, tetapi kenyataan sebaliknya menjadi birokrat yang maunya dilayani oleh masyarakat.
Perilaku-perilaku mi tercermin dan produk keputusan-keputusan TUN yang cenderung:
merugikan kepentingan masyarakat; menggebiri/ mengurangi hak-hak rakyat; membebani masyarakat tanpa dasar hukum; sewenang-wenang serta meresahkan masyarakat.
Berkaitan dengan itu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah serta pelayanan yang baik kepada masyarakat, pelaksanaan urusan-urusan yang menjadi hak dan tanggungjawab Daerah sebagaimana dimaksud dalarn Undang-undang No: 22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah Bupati/Walikota) harus senantiasa taat azas sebagaimana dimaksud dalarn azas-azas Umum pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Secara tersurut rnanfaat AAUPB khususnya, dan manfaat Undang-undang Peradilan TUN pada umumnya, semakin diperlukan masyarakat, mengingat perlindungan terhadap kepentingan masyarakat semakin mendapat perhatian belakangan ini. Kesadaran hukum masyarakat semakin tinggi, yang menjadikan mereka semakin kritis, jika terdapat tindakan pemerintah yang merugikan bagi dirinya.
Sebagai unsure aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas urnum pemerintahan, Pegawai Negeri/Pejabat Pemerintah Daerah mau tak mau harus berprilaku selaras dengan AAUPB.
Meskipun AAUPB, tidak diatur dalam suatu produk legislatif tertentu, namum ia merupakan norma-norma dari doktrin ilmu hukum dan yurisprudensi yang harus diperhatikan oleh setiap Pejabat atau badan TUN. Dalam UU Peraturan sendiri dapat disimpulkan adanya beberapa prinsip AAUPB, seperti yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) sub b, sub c, UU No. 5 Tahun 1986 yaitu,te'ntang: "deternment de pouvoir'' (penyalahgunaan wewenang) dan “willekeur” (sewenang-wenang) yang merupakan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan TUN.
Kecenderungan keputusan TUN bertentangan dengan ketentuan yang berlaku sebagai implikasi adanya: kekurang fahaman pejabat pembuat keputusan TUN dalam mengacu terhadap peraturan perundang-undangan disamping kurang pekanya terhadap permasalahan yang akan diputuskan, sehingga keputusan TUN sewenang-wenang (semaunya pejabat).
Disamping itu, terkesan adanya kecenderungan menyalahgunakan jabatan atau wewenang yang ada pada diri sipejabat, dan sering disebut memperkaya diri sendiri atau berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain. Perbuatan pejabat seperti itu nampaknya memanfaatkan kondisi yang menurut perasaannya seakan-akan sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi sebenarnya "cenderung hanya rnencari celah/kevakinnan dan kelemahan hukum.
Bila AAUPB tidak sinkron dengan kewenangan penetapan keputusan TUN akan menirnbulkan reaksi masyarakat dan menimbulkan sengketa TUN, dengan alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No: 5 Tahun 1986 tentang Peraturan yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Kesimpulan
Dari tulisan yang dikemukakan ini, dapat disimpulkan sebagai antisipasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai Undang-undang No: 22 Tahun 1999; adalah;
a. Memahami semua ketentuan yang bertalian dengan urusan yang merupakan kewenangan daerah dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah;
b. Memahami keputusan TUN yang merupakan hak dan kewenangan Daerah sebagai implikasi penyerahan urusan bidang pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal 11;
c. Memahami AAUPB sebagai perwujudan pelaksanaan Pasal 53 Undang-undang No: 5 Tahun 1986;
d. Bertindak proaktif terhadap setiap permintaan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan obyek gugatan di Peradilan tata Usaha Negara. (Penulis adalah Kasubdit Administrasi Pemerintahan Seda dan Kelurahan Direktorat Pemerintahan Desa Ditjen PMD, Depdagri).

Jumat, 20 Agustus 2010

Ketentuan Biaya Perjalanan Dinas

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 07/PMK.05/2008

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 45/PMK.05/2007 TENTANG PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI
BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI, DAN PEGAWAI TIDAK TETAP

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2008, dipandang perlu menyesuaikan pengaturan tarif/biaya penginapan dan uang representatif serta fasilitas angkutan dalam kota/sewa kendaraan bagi Pejabat Negara dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai tidak tetap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.05/2007;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap;

Mengingat :
1. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.05/2007;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 Standar Biaya Tahun Anggaran 2008;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 45/PMK.05/2007 TENTANG PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI, DAN PEGAWAI TIDAK TETAP

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.05/2007, diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 5
(1) Biaya perjalanan dinas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), terdiri :
a. uang harian, terdiri dari uang makan, uang saku, dan transport lokal;
b. biaya transport pegawai;
c. biaya penginapan;
d. uang representatif;
e. sewa kendaraan dalam kota.
(2) Khusus untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf g dan h, selain biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan biaya menjemput/mengantar jenazah, terdiri :
a. biaya pemetian;
b. biaya angkutan jenazah.
(3) Biaya perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digolongkan dalam 6 (enam) tingkat, yaitu :
a. Tingkat A untuk Pejabat Negara (Ketua/Wakil Ketua dan Anggota Lembaga Tinggi Negara, Menteri dan setingkat Menteri);
b. Tingkat B untuk Pejabat Negara Lainnya dan Pejabat Eselon I;
c. Tingkat C untuk Pejabat Eselon II;
d. Tingkat D untuk Pejabat Eselon III/Golongan IV;
e. Tingkat E untuk Pejabat Eselon IV/Golongan III;
f. Tingkat F untuk PNS Golongan II dan Golongan I;
(4) Penyertaan tingkat biaya perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di lingkungan Kementerian Pertahanan/TNI ditetapkan oleh Menteri Pertahanan dan di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
(5) Biaya perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan berdasarkan tingkat perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dengan pengaturan sebagai berikut :
a. Uang Harian, sebagaimana tercantum pada Lampiran I;
b. Fasilitas Transport, sebagaimana tercantum pada Lampiran II;
c. Fasilitas dan Kelas Penginapan, sebagaimana tercantum pada Lampiran III;
d. Biaya Pemetian dan Angkutan Jenazah, termasuk yang berhubungan dengan pengruktian/pengurusan jenazah, sebagaimana tercantum pada Lampiran IV;
e. Perkiraan Biaya Penginapan Berdasarkan Tarif Rata-Rata Hotel, sebagaimana tercantum pada Lampiran V;
f. Uang Representatif dan Sewa Kendaraan Dalam Kota sebagaimana tercantum pada Lampiran VII;


2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 8

Perjalanan dinas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) diberikan biaya-biaya sebagai berikut :
1. uang harian, biaya transport pegawai, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota untuk perjalanan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, b, c, dan e;
2. biaya transport pegawai, untuk perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf d dan f, dengan uang harian yang dapat diberikan setinggi-tingginya 30% (tiga puluh persen) dari uang harian bagi yang ditugaskan mengikuti pendidikan dinas di luar Tempat Kedudukan;
3. uang harian, biaya transport pegawai/keluarga, dan biaya penginapan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang, serta biaya pemetian dan angkutan jenazah untuk perjalanan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf g dan h.

3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 9

Uang harian dan uang representatif dalam rangka perjalanan dinas jabatan serta biaya pemetian jenazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dibayarkan secara lumpsum dan merupakan batas tertinggi.

4. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10

Biaya transport pegawai, biaya penginapan, dan sewa kendaraan dalam kota dalam rangka perjalanan dinas jabatan serta biaya angkutan jenazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dibayarkan sesuai dengan Biaya Riil.

5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11
(1) Uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota perjalanan dinas jabatan diberikan :
a. untuk perjalanan dinas yang memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) jam;
b. menurut banyak hari yang digunakan untuk melaksanakan perjalanan dinas;
c. selama 2 (dua) hari untuk transit menunggu pengangkutan lanjutan dalam hal harus berpindah ke alat angkutan lain;
d. selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat bertolak ke/datang dari luar negeri;
e. selama-lamanya 10 (sepuluh) hari di tempat yang bersangkutan jatuh sakit/berobat dalam hal pegawai yang sedang melakukan perjalanan dinas jatuh sakit;
f. selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari dalam hal pegawai melakukan tugas detasering;
g. selama-lamanya 7 (tujuh) hari setelah diterima keputusan tentang perubahan detasering menjadi penugaspindahan;
h. selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat penjemputan jenazah dan selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat pemakaman jenazah dalam hal jenazah tersebut tidak dimakamkan di tempat kedudukan almarhum/almarhumah yang bersangkutan untuk pejabat negara/pegawai yang meninggal saat melaksanakan perjalanan dinas;
i. selama-lamanya 3 (tiga) hari di tempat pemakaman jenazah pejabat negara/pegawai yang meninggal dan dimakamkan tidak di tempat kedudukan almarhum/almarhumah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perjalanan dinas jabatan dilakukan secara bersama-sama untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu, penginapan/hotel untuk seluruh pejabat negara/pegawai dapat menginap pada hotel/penginapan yang sama, sesuai dengan kelas kamar penginapan/hotel yang telah ditetapkan untuk masing-masing pejabat negara/pegawai negeri.
(3) Perjalanan dinas jabatan pulang dan pergi yang memakan waktu kurang dari 6 (enam) jam, diberikan biaya perjalanan dinas setinggi-tingginya 60% (enam puluh persen) dari uang harian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini.


6. Ketentuan Pasal 15 diubah sehinggal Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 15
(1) Dalam hal jumlah hari perjalanan dinas jabatan ternyata melebihi jumlah hari yang ditetapkan dalam SPPD, pejabat yang berwenang dapat mempertimbangkan tambahan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sepanjang kelebihan tersebut bukan disebabkan kesalahan/kelalaian pejabat negara/pegawai negeri bersangkutan.
(2) Tambahan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dipertimbangkan untuk hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d, e, f, g, h, dan i.
(3) Dalam hal jumlah hari menunggu sambungan dengan alat angkutan lain ternyata lebih dari 2 (dua) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c, maka Pejabat yang Berwenang dapat mempertimbangkan pemberian tambahan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sepanjang kelebihan tersebut bukan disebabkan kesalahan/kelalaian pejabat negara/pegawai negeri bersangkutan.
(4) Dalam hal jumlah hari perjalanan dinas ternyata kurang dari jumlah hari yang ditetapkan dalam SPPD, maka pejabat negara/pegawai negeri yang bersangkutan wajib menyetorkan kembali kelebihan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota uang telah diterimanya.
(5) Ketentuan penyetoran kembali kelebihan uang harian, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atas tidak berlaku untuk hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf g.

7. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16
(1) Perjalanan dinas dilakukan SPPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang menurut contoh sebagaimana tercantum pada Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Pejabat yang Berwenang hanya dapat menerbitkan SPPD untuk perjalanan dinas yang biayanya dibebankan pada anggaran yang tersedia pada kantor/satuan kerja berkenaan.
(3) Dalam hal SPPD ditandatangani oleh atasan langsung pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) huruf a, maka pembiayaan perjalanan dinas dapat dibebankan pada kantor/satuan kerja Pejabat yang Berwenang tersebut.
(4) Pejabat yang Berwenang dalam menerbitkan SPPD sekaligus menetapkan tingkat golongan perjalanan dinas dan alat transport yang digunakan untuk melaksanakan perjalanan yang bersangkutan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan perjalanan dinas tersebut.

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 1 Januri 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATIBIAYA



BIAYA PERJALANAN DINAS PEJABAT NEGARA DAN PEGAWAI DI PENGADILAN TUN
DALAM PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SETEMPAT SENGKETA TUN



I. UANG HARIAN PER HARI Rp. 300.000,-
- UANG MAKAN
- UANG SAKU
- TRANSPORT LOKAL

II. TRANSPORT (KENDARAAN, BENSIN, SOPIR) PERHARI Rp. 500.000,-
(BIAYA BISA LEBIH SESUAI DENGAN PENGELUARAN
SENYATANYA)

III.UANG REPRESENTATIF PERHARI ( PEJABAT NEGARA/
PEJABAT ESELON I DAN ESELON II) Rp. 200.000,-

IV. PENGINAPAN SESUAI DENGAN BIAYA DI DAERAH YANG
DITUJU.
(HAKIM SETARA DENGAN HOTEL BINTANG IV DAN PANITERA/PANITERA PENGGANTI (GOL.III SETARA
DENGAN HOTEL BINTANG II DAN GOL.IV SETARA
DENGAN HOTEL BINTANG III)
CONTOH HOTEL DI PALEMBANG BIAYA PERHARI ;
BINTANG IV Rp. 567.000,-
BINTANG III Rp. 335.000,-
BINTANG II Rp. 275.000,-

CATATAN :

PERINCIAN BIAYA PERJALANAN DINAS INI MENGACU KEPADA Pasal 111 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. PERATURAN MENKEU NOMOR : 07/PMK.05/2008 Tanggal 30 Januari 2008 jo. PERATURAN DIRJEN PERBENDAHARAAN NOMOR: PER-21/PB/2008 Tanggal 5 Juni 2008